Kamis 27 Feb 2014 01:35 WIB

Potret Konsistensi

Muazin sedang mengumandangkan adzan
Foto: /radiohaifa.mediacast.co.il
Muazin sedang mengumandangkan adzan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mahmud Yunus

Saya tidak tahu persis, apakah itu namanya sejak lahir atau bukan. Saya hanya tahu dia biasa disapa Ahya. Namanya diambil dari kata hayyun. Dalam bahasa kita artinya hidup.

Namanya mengingatkan kita akan doa yang lazim dibaca Rasulullah SAW ketika beliau hendak tidur. “Bismika allahumma ahya wa amutu.” (HR Bukhari dan Muslim). Rumahnya terletak di punggung bukit. Jarak dari rumahnya ke surau terdekat sekitar 400 meter.

Jalan setapak menuju ke surau itu menukik. Kondisinya, terutama pada musim hujan, sangat licin. Selain itu, perjalanan menuju surau harus melewati dua rumpun bambu. Kalau malam hari, selalu gelap gulita.

Baru sekitar pertengahan 1992-an dusun itu dapat dijangkau aliran listrik melalui program listrik masuk desa. Dengan begitu, bagi orang-orang yang tidak hafal betul kondisi jalan setapak itu mungkin saja menyebabkan mereka terpeleset berkali-kali.

Atau, sangat boleh jadi akan dijadikan pembenar untuk tidak melaksanakan shalat berjamaah di surau. Akan tetapi, bagi Ahya kondisi demikian itu sama sekali bukan masalah serius. Pria tersebut jarang sekali meninggalkan shalat berjamaah di surau itu.

Lebih dari itu, dia adalah muazin tetap di surau tersebut. Tidak ada jamaah lainnya yang berani mengambil alih posisinya. Tentu saja karena saban menjelang waktu shalat, dia adalah orang yang terlebih dahulu masuk ke surau itu.

Dan, biasanya dia langsung mengambil posisi dekat ruangan loudspeaker alias alat pengeras suara. Rupanya, agar begitu masuk waktu shalat, dia dengan mudah menjangkaunya. Maka, berkumandanglah suara azan dari mulutnya.

Hal yang saya kagumi dari dia adalah kemampuannya mempertahankan konsistensinya dalam berbuat kebaikan. Suatu hal yang bagi kebanyakan orang sangat sulit. Paling tidak, itulah yang kerap saya dengar dari ayah saya.

Memang ada informasi, terutama setelah dia menyadari usianya semakin sepuh, meski masih tetap konsisten dengan jabatannya, dia kadang-kadang menyuruh Kang Ewo untuk azan. Mungkin maksudnya sebagai upaya pengaderan.

Siapa Kang Ewo itu? Dia penyandang tunanetra sejak usia kanak-kanak. Namun, lagi-lagi dia tidak kalah rajin dibandingkan Mang Ahya. Meski antara rumahnya dengan surau terdekat jaraknya hanya 200-an meter, tetapi dia kan seorang tunanetra.

Siapa pun pasti sependapat, bagi dia tentu tidak mudah untuk pergi-pulang ke surau, bukan? Saya masih ingat, Mang Ahya, Kang Ewo, dan jamaah shalat lainnya di surau itu, berangkat ke surau dengan membawa penerangan berupa obor.

Obor tersebut terbuat dari daun kelapa kering yang diikat di pangkalnya. Kadang-kadang ada juga yang membawa dua buah obor. Ini berlaku bagi yang rumahnya lumayan jauh dari surau. Setelah sampai di surau, obor-obor itu segera dipadamkan apinya.

Ini strategi cerdas biar bisa digunakan kembali saat pulang ke rumah. Lalu, obor-obor itu disimpan di samping kanan atau kiri surau. Belakangan setelah masyarakat lazim menggunakan minyak tanah, barulah ada yang menggunakan oncor dan atau lentera.

Hingga saat ini, saya masih ingat betul jika ada sebagian jamaah yang iseng membawa obor-obor atau oncor-oncor jamaah lainnya maka jamaah yang tidak bisa pulang karena gelap itu biasanya memilih bermalam di surau.

Dan, reputasi Ahya akan sulit tertandingi oleh siapa pun. Apalagi, (maaf) oleh anak muda zaman sekarang. Dia bertugas sebagai muazin kurang lebih empat dekade secara terus-menerus. Dia melakukan semua itu tanpa bayaran.

Dia, paling tidak di dusun tempatnya lahir dan meninggal dunia, adalah muazin paling lama. Semoga Ahya bahagia di alam kuburnya. Semoga pula dapat dijadikan pembelajaran bagi kita semua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement