Selasa 25 Feb 2014 19:18 WIB

Cinta yang Berbeda tak Selalu Bahagia (1)

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

Oleh: Mohammad Akbar      

Di Indonesia pernikahan beda agama menyulut polemik karena ada pertentangan budaya dari sejak penjajahan Belanda dan sering dijadikan alat Kristenisasi.

Empat tahun silam, Rahman membuat sebuah keputusan penting dalam hidupnya. Ia memilih menikah dengan perempuan berbeda agama. Rahman beragama Islam. Sedangkan perempuan yang hendak dinikahinya penganut Katolik taat.

Keluarga dan kawan dekat mencoba mengingatkan Rahman agar tidak melangsungkan pernikahan. Tapi, ia abaikan semua peringatan kawan-kawan dan keluarga. Ia akhirnya tetap menikah.

Tapi, bahtera rumah tangga lelaki berkacamata itu hanya bahagia sesaat. Kini, ia menyesal. Anak dari hasil pernikahan beda agama itu sekarang menyisakan polemik padanya, selain konflik internal rumah tangga yang kini membelit keduanya. Ada tarik ulur di antara kedua pihak.

Sang istri menginginkan agar putra pertama mereka menjadi seorang Katolik. Rahman menolak. Ia ngotot agar anak mereka menjadi seorang Muslim. ''Saran saya lebih baik kita menikah dengan calon yang seiman saja,'' pesan Rahmad kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Dalam Islam, pernikahan beda agama antara seorang laki-laki Muslim dan perempuan dari golongan ahli kitab yaitu Nasrani dan Yahudi memang diperbolehkan, walau ada beberapa ulama yang melarangnya.

Dari kalangan ulama yang membolehkan pun memberikan persyaratan tertentu, misalnya, Yusuf Qaradhawi yang mensyaratkan agar jangan sampai agama suami dan anak-anak terpengaruh oleh agama sang istri, seperti kasus yang dialami Rahman.

Walau agama membolehkan, di Indonesia isu pernikahan beda agama ini menjadi hal yang sensitif. Tak heran, ketika sutradara muda Hanung Bramantyo membuat film Cinta Tapi Beda yang mengisahkan percintaan antara seorang laki-laki Muslim dan perempuan Katolik, nyaris mirip yang dialami Rahman, masyarakat bereaksi.

Sebagian besar menolak pesan film itu. Hanung yang selama ini kerap mengusung film dengan tema menyerempet realitas agama di Indonesia, kembali dikritik keras, bahkan dihujat.

''Film Mas Hanung secara inti substansi sebenarnya mengandung otokritik yang bagus terhadap umat Islam saat ini. Sayang, metode penyampaiannya sangat kurang baik dan tidak tepat. Sekarang ini Islam sedang jadi bulan-bulanan fitnah,'' kata Gugus Aryo Swandito, aktivis mahasiswa Universitas Indonesia (UI) ini.

Ia menyarankan, alangkah lebih positif jika Hanung bisa mengangkat cerita-cerita yang memberikan dukungan bagi dakwah umat.

''Tapi, bila Mas Hanung masih doyan dengan tema otokritik yang 'menjelekkan' citra Islam, saya pikir perlu dipertanyakan kembali niatannya apakah benar ingin memperbaiki Islam atau malah ingin menjatuhkan Islam,'' ujar mantan ketua umum Remaja Islam Sunda Kelapa (Riska) ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement