Rabu 19 Feb 2014 17:18 WIB

Program Seribu Ulama

Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) KH Syuhada Bahri (depan) didampingi jajaran pengurus menyampaikan keterangan pers usai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta.
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) KH Syuhada Bahri (depan) didampingi jajaran pengurus menyampaikan keterangan pers usai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta.

Oleh: Afriza Hanifa

Sejak 2008, DDII memiliki program seribu ulama, sebuah program yang berencana mengader seribu ulama dalam tempo 10 tahun. Dai yang dicetak pun bukan sekadar ulama, melainkan harus memiliki enam kriteria yang excelent.

Kriteria tersebut, yakni fakih beragama, menguasai bahasa Arab dan Inggris, mampu menjawab tantangan pemikiran kontemporer dengan tepat, memiliki ruhud da'wah dan ruhul jihad yang tinggi.

Selain itu, berakhlak mulia, dan bisa menjadi teladan bagi masyarakatnya, memiliki kemampuan leadership yang memadai, serta mampu berkomunikasi secara lisan dan tulisan dengan baik.

Para calon ulama luar biasa tersebut pun bukan sekadar lulus sarjana melainkan bergelar magister bahkan doktor. Program tersebut memberikan biaya bagi para calon dai secara cuma-cuma. Pesertanya terbuka bagi siapa saja, asal memiliki tekad kuat untuk mementingkan dakwah di dalam kehidupannya.

“Kader-kader umat terbaik yang memiliki potensi kecerdasan yang tinggi, memiliki kesungguhan dalam menuntut ilmu dan dakwah, serta bertekad menjadikan dakwah sebagai aktivitas terpenting dalam hidupnya. Diprioritaskan berasal dari para aktivis dakwah, baik di kampus, sekolah, masyarakat, organisasi Islam, atau pondok pesantren, serta umur tidak lebih dari 30 tahun,” tulis situs resmi DDII.

 

Menurut Ketua umum DDII KH Syuhada Bahri, program magister dan doktor tak dilakukan secara beruntun. Lulusan S-2 akan diterjunkan lebih dulu ke desa terpencil selama dua tahun. Setelah itu, si dai baru melanjutkan program doktoral. Adapun lulusan S-3 akan mendapat tugas lebih berat, berdakwah di tingkat kabupaten atau bahkan provinsi.

“Kita ingin teori yang dipelajari selama kuliah dan pengalaman di lapangan itu berimbang. Sebab, kalau langsung sampai S-3 kecenderungannya tidak mau ditugaskan ke pedalaman. Karena mereka merasa kalau sudah doktor itu pantasnya di ruang seminar, bukan lagi di pedalaman,” ujarnya dikutip dari Media Umat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement