Jumat 14 Feb 2014 07:20 WIB

Lokalisasi Pelacuran, Bolehkah?

Dua perempuan berada di depan papan berisi data para mucikari dan pekerja seks komersial (PSK) saat verifikasi dan sosialisasi penutupan lokalisasi di kawasan Tambakasri (Kremil) Surabaya, Jawa Timur.
Foto: Antara/Eric Ireng
Dua perempuan berada di depan papan berisi data para mucikari dan pekerja seks komersial (PSK) saat verifikasi dan sosialisasi penutupan lokalisasi di kawasan Tambakasri (Kremil) Surabaya, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, Penyakit HIV/AIDS telah mewabah di Indonesia. Penyebarannya pun sudah sampai pada hampir semua kabupaten di Indonesia.

Penyakit HIV yang salah satu penularannya disebabkan oleh pola hubungan yang tidak aman ini sering dialamatkan pada pekerja seks yang menjadi biang keladinya. Terlepas dari itu, wabah AIDS sudah menjadi ancaman serius bagi bangsa.

Untuk meminimalisir penularan HIV, salah satu strategi nasional dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang dikembangkan adalah membentuk organisasi komunitas yang akan menjadi wadah bagi mereka untuk turut berpartisipasi dalam program penanggulangan HIV dan AIDS.

Salah satu yang sudah terbentuk dengan fasilitasi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) adalah Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI) yang menghuni tepat-tempat lokalisasi.

Ini bisa dipahami, karena organisasi ini dibentuk oleh negara, maka kehadiran dan aktivitasnya menjadi legal. Tindakan-tindakan stigmatik dan kriminalisasi terhadap mereka menjadi tidak bisa dibenarkan. Sementara itu, perzinaan atau seks bebas merupakan perbuatan yang dilarang agama.

Hasil Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU tentang Penanggulangan HIV-AIDS menyatakan, pada hakikatnya, kewajiban pemerintah adalah menegakkan keadilan bagi masyarakat sehingga kemaslahatan tercapai.

Pemerintah harus membuat regulasi yang melarang  praktik perzinahan dan pada saat yang sama menegakkan regulasi tersebut. Inilah maslahah ammah (maslahat umum) yang wajib dilakukan pemerintah, “perlakuan  (kebijakan) imam  atas rakyat mengacu pada maslahat”.

Lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif perzinahan, bukan menghalalkannya. Dengan dilokalisir, efek negatif perzinahan dapat dikelola dan dikontrol sehingga tidak menyebar ke masyarakat secara luas, termasuk penyebaran virus HIV.

Dengan kontrol yang ketat dan penyadaran yang terencana, secara perlahan keberadaan lokalisasi akan tutup dengan sendirinya karena para penghuninya telah sadar dan menemukan jalan lain yang lebih santun.

Tujuan ini akan tercapai manakala program lokalisasi dibarengi dengan konsistensi kebijakan dan usaha secara massif untuk menyelesaikan inti masalahnya. Kemiskinan, ketimpangan sosial, peyelewengan aturan, dan tatatan sosial harus diatasi.

Mereka yang melakukan praktik perzinahan di luar lokalisasi juga harus ditindak tegas. Jika saja prasyarat tersebut dilakukan, tentu mafsadah-nya (kerusakan) lebih ringan dibanding kondisi yang kita lihat sekarang.

“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.” ( Ibn Nujaim Al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nazhair, tahqiq: Muthi’ al-Hafidz, Beirut-Dar Al-Fikr, hal: 96).

"Inkar terhadap perkara yang mungkar itu ada empat tingkatan. Pertama, perkara yang mungkar hilang  dan digantikan oleh kebalikannya (yang baik atau ma’ruf). Kedua, perkara mungkar berkurang sekalipun tidak hilang secara keseluruhan. Ketiga, perkara mungkar hilang digantikan dengan kemungkaran lain yang kadar kemungkarannya sama. Keempat, perkara mungkar hilang digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar. Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh syara’, tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat hukumnya haram." (Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi'in an Rabbi al-Alamin, tahqiq: Thaha Abdurrouf  Saad, Beirut- Dar al-Gel, 1983. M, Vol: III, h. 40).

sumber : Nu.or.id
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement