REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Aku datang menemui Nabi SAW yang sedang demam hebat saat itu. Aku berkata, “Ya Rasulullah, engkau terkena demam luar biasa keras?” Beliau menjawab, “Ya, demamku setara dengan demam dua orang.”
Aku bertanya, “Apakah karena engkau mendapatkan dua pahala?” Beliau menjawab, “Benar, karena itu. Dan, tidaklah seorang muslim terkena hal yang menyakitkan – duri atau yang lain – kecuali Allah ampuni kesalahan-kesalahannya. Dosa-dosanya dihapus seperti pohon yang merontokkan daun-daunnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Musibah demi musibah atau bencana demi bencana tampaknya datang silih berganti menguji keimanan kita. Gunung meletus, banjir biasa, banjir bandang, longsor, gempa bumi, jalan raya terputus akibat gerusan banjir dan tertimbun tanah longsor, dan sebagainya hampir merata terjadi di pelosok negeri.
Ujian kehidupan ini sesungguhnya merupakan peringatan yang semestinya menjadi pelajaran bagi kita semua. Ujian kehidupan seperti rasa takut, krisis harta, krisis jiwa (stress, depresi), krisis sandang, pangan, dan seterusnya merupakan sebuah keniscayaan yang pasti dialami setiap manusia.
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah/2: 155)
Melalui ujian dan musibah, Allah SWT akan menilai dan mengelompokkan siapa di antara umat manusia ini yang benar-benar memiliki etos amal (spirit dan kinerja perjuangan yang pantang menyerah) dengan yang bersantai-santai.
“Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu.” (QS. Muhammad/47: 31)
Ujian dan musibah sesungguhnya bagian dari proses pembelajaran yang diberikan Allah SWT kepada manusia agar mau mengambil pelajaran, mendayagunakan kemampuan nalar, dan kebersamaannya dalam mengatasi musibah.
Apakah musibah itu merupakan kehendak dan ketentuan Allah atau karena ulah salah tangan-tangan jahil dan jahat manusia? Semua musibah yang terjadi dan menimpa manusia itu pada dasarnya sudah diketahui (menjadi pengetahuan Allah) sejak azali dan sudah ditulis dalam Lauh Mahfuzh.
Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. al-Hadid/57: 22)
Namun demikian, perbuatan manusia yang serakah, melampaui batas, berlaku eksploitatif, tidak harmoni dan cenderung merusak ekosistem alam merupakan salah satu penyabab musibah.
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. asy-Syura/42: 30).
Musibah dan kerusakan alam seperti yang terjadi saat ini merupakan dampak (akibat) dari sikap dan perlakuan manusia yang salah terhadap alam.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum/30: 41)
Meskipun sebagian besar musibah itu disebabkan oleh perbuatan manusia, namun proses terjadinya tetap tidak dapat dilepaskan dari izin Allah sebagai pengatur/pengelola alam raya ini.
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun/64: 11)
Sebagai ujian kehidupan, musibah yang menimpa kita harus disikapi dengan, pertama, introspeksi diri (muhasabah), karena boleh jadi musibah itu disebabkan oleh kesalahan kita sendiri atau kesalahan sebagian orang yang kemudian menimpa banyak orang.
Kedua, menjadikan musibah sebagai pelajaran berharga dan peringatan Allah yang Maha Kasih Sayang kepada umat-Nya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, sekaligus bertaubat dan beristighfar kepada Allah SWT.
Ketiga, menyadari dan memulangkan segala persoalan dengan penuh tawakkal kepada Allah, seraya mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Keempat, bersabar dan tabah dalam menghadapi musibah dengan penuh ketenangan jiwa, dan tidak menyalahkan pihak lain, apalagi berburuk sangka kepada Allah SWT.
Kelima, kita harus terus belajar dan mendalami ayat-ayat Allah yang ada di alam raya ini dengan taskhir (menundukkan dan mengungkap hukum kausalitas yang ada di alam raya).
Pada dasarnya apa yang terjadi alam raya ini berlaku hukum kausalitas (sebab-akibat). Banjir merupakan akibat dari adanya hujan, dan sebagainya.
Keenam, meneguhkan kebersamaan dan solidaritas sosial. Hikmah dari musibah yang kita alami saat ini setidak-tidaknya dapat menumbuhkan kesadaran kolektif akan penting merajut tali persatuan dan solidaritas sosial.
Dengan sikap peduli dan rela berbagi, para korban bencana dapat dihibur dan diringankan beban penderitaannya.
Ketujuh, berpikir positif, antisipatif, dan prediktif dengan berusaha menghindar atau menjauh dari musibah, bahkan meminimalisir dampaknya semaksimal mungkin.
Kasus ini dapat dipetik dari kebijakan Umar bin al-Khattab yang mengurungkan niatnya untuk pergi ke Syam.
Ia diprotes oleh sebagian sahabat. “Apakah engkau lari dari takdir Allah?” Umar menjawab: “saya lari dari satu takdir Allah menuju takdir yang lain. Umar mengurungkan niatnya ke Syam (Suriah) karena di sana saat itu terjadi wabah penyakit menular.
Dengan berpikir positif, musibah itu seharusnya semakin meningkatkan kualitas iman, ilmu, dan amal kita bahwa musibah itu merupakan salah satu cara Allah SWT menghapuskan kesalahan dan dosa-dosa kita.