REPUBLIKA.CO.ID, Ulama Hanabilah (golongan Hanbali) berpendapat, tidaklah membatalkan wudlu apabila menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya, selama tidak disertai dengan syahwat. Namun, bila disertai dengan syahwat, wudlunya menjadi batal.
Bagaimana hukumnya bila yang menyentuh kulit itu suami atau istri, anak, orang tua, mertua, saudara ipar, dan anggota muhrim lainnya?
Menurut sejumlah ulama, bersentuhan kulit dengan saudara ipar, menyentuh suami (atau istri), maka hukumnya batal. Namun, hal itu tidak membatalkan wudlu, apabila menyentuh anak laki-laki atau perempuan.
Namun, ulama lainnya menolak pendapat diatas. Menurut mereka, menyentuh kulit istri, bahkan menciumnya, tidaklah membatalkan wudlu. Argumentasi ini didasarkan pada pengalaman Rasul SAW saat melaksanakan shalat malam. Ketika itu, ummu al-Mukminin, Siti Aisyah RA yang juga istri Rasul SAW, meletakkan kakinya diatas sajadah Rasul. Saat akan sujud, Rasul SAW memindahkan kaki Siti Aisyah, dan Rasul tetap meneruskan shalatnya tanpa berwudlu.
Disebutkan pula, dalam suatu kesempatan Rasul SAW pernah mencium salah seorang istrinya, saat akan shalat. Dalam riwayat lain, saat berpuasa. Dan Rasul melaksanakan shalatnya, serta tidak mengulangi wudlunya.
Jadi, menurut ulama Hanabilah, menyentuh kulit istri tidak akan membatalkan wudlu. Begitu juga menyentuh ibu mertua, atau saudara ipar. Sebab, mereka sudah menjadi bagian dari anggota keluarga yang haram dinikahi, karena ia sudah menikah dengan istrinya yang merupakan bagian dari anggota keluarga itu.
Sejumlah ulama lain, juga mengungkapkan pendapat senada. Seorang istri yang menyentuh kulit suami atau suami yang menyentuh kulit istri, tidak membatalkan wudlu. Sebab, keduanya sudah diikat oleh sebuah pertalian ijab kabul (aqad) saat menikah.
Sebelum keduanya menikah, awalnya segala sesuatu diharamkan atas mereka. Namun, saat ijab kabul telah diucapkan, maka mereka tidak dibolehkan, termasuk berhubungan badan. Inilah sejumlah alasan ulama yangmenyatakan bahwa menyentuh kulit istri atau suami tidaklah membatalkan wudlu. Wa Allahu A'lam.