REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Ajeng Tejokumti
Penggunaan label halal dalam produk Thailand rentan disalahgunakan oleh produsen nakal.
Praktik nakal sejumlah produsen dengan mencantumkan sertifikat halal pada produk haram mereka, ternyata juga marak di sejumlah negara, termasuk Thailand.
Di negara berjuluk Negeri Gajah Putih itu, kata Direktur dan Pendiri Halal Science Center (HSC) Profesor Winai Dahlan, pesatnya pertumbuhan sektor halal tersebut justru berisiko dengan adanya pemalsuan label makanan. “Karena itu, konsumen perlu waspada,” kata cucu pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan tersebut.
Kekhawatiran tersebut, kata guru besar Universitas Chulalongkorn Thailand itu, bukan tanpa sebab. Belum lama ini, pihaknya meneliti produk-produk yang berlabelkan halal untuk mengetahui tingkat validitas dan akurasi dengan produk itu sendiri.
Alhasil, Winai mengungkapkan, sebanyak 13 persen dari produk halal yang ia teliti terbukti haram. Konsumen tentu harus menganalisis merek dan bahan-bahan dari produk karena halal berlabel kadang berubah menjadi haram, bahkan melanggar hukum.
Dari total 13 persen produk halal itu, ujarnya, terdapat makanan laut kalengan yang mengandung daging babi. Hal itu disebabkan ada campuran gelatin yang berasal dari hewan haram tersebut.
Sebagai solusi untuk memberikan informasi bagi konsumen Muslim, pihaknya berinovasi dengan memasukkan koding bahan-bahan yang mengandung babi dan turunannya. Koding produk tersebut telah dimasukkan keaplikasi yang dapat diunduh melalui ponsel pintar agar mudah diakses.
Winai merekomendasiskan perlunya pengontrolan ketat dan inspeksi berkala. Ini mengingat produksi pangan halal ilegal akhir-akhir ini meningkat.
Saat ini, pasar Halal Global memiliki transaksi hingga satu triliun dolar AS, diperkirakan pada 2030 pasar akan meningkat hingga dua triliun dolar AS.
Eksportir utama produk makanan halal merupakan negara-negara non-Muslim, seperti Brazil, Amerika Serikat, Cina, India, dan Thailand. Baru-baru ini Turki ingin bergabung dengan memiliki saham di sektor tersebut.
Namun, Winai mengatakan, tidak mudah untuk memproduksi makanan halal karena membutuhkan investasi infrastruktur yang serius dan harus memiliki tenaga kerja yang ahli dan teliti. Mereka pun harus memiliki sertifikat halal dari HSC Thailand. Thailand juga menargetkan Turki menjadi negara tujuan ekspor.
Direktur Proyek di ASEAN Business and Economic Project di Universitas Thai Chamber of Commerce (UTCC), Roongroj Benjamasutin, mengatakan meskipun kualitas makanan Thailand diakui secara global baik namun ekspor makanan halal hanya satu persen di dunia.
Dalam setahun Thailand hanya mengekspor 100 miliar baht Thailand untuk makanan bersertifikat halal. Padahal, kemampuan ekspor negara tersebut bisa mencapai delapan triliun baht Thailand.
Hal ini, kata Benjamasutin, disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya kurangnya sertifikasi halal pada eksportir di Thailand.
Rendahnya kesadaran sertifikasi tersebut berpengaruh pada keuntungan yang didapatkan mereka. Padahal, mereka memiliki kemampuan yang baik dan kualitas makanan yang bagus.
Sedangkan, dominasi eksportir makanan halal dunia masih dipegang oleh Australia dan Brazil. Saat ini, eksportir makanan Thailand tertarik untuk mengirimkannya ke negara-negara Islam, tetapi belum mengurus masalah sertifikat halal.