Kamis 16 Jan 2014 18:11 WIB

Belajar dari Pesantren Suryalaya

Ribuan jamaah pondok pesantren Suryalaya memadati halaman masjid jami Masjid Nurul Asror untuk menghadiri pemakaman Abah Anom.
Foto: Republika/Imam Budi Utomo
Ribuan jamaah pondok pesantren Suryalaya memadati halaman masjid jami Masjid Nurul Asror untuk menghadiri pemakaman Abah Anom.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah

Anu matak ulah rek kajongjonan, ngeunah dewek henteu lian.” Kalimat itu kurang lebih bermakna janganlah acuh tak acuh dan hanya menyenangkan diri sendiri. Ini merupakan penggalan petuah almarhum Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad atau Abah Sepuh.

Beliau merupakan pendiri Pesantren Patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah atau disingkat dengan Suryalaya, Tanjungkerta Pageurageung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Petuah itu terabadikan dalam risalah Tanbih.

Kumpulan wasiat itu hingga sekarang menjadi pegangan bagi para santri dan pengikut Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) di Suryalaya. Ada empat poin utama nasihat yang disampaikan penyebar tarekat tersebut di wilayah Jawa Barat.

Pada intinya, menekankan keseimbangan dalam segala hal. Cinta agama, harus taat pada negara, saleh ritual, juga harus peka sosial. Singkat kata, keempat poin tersebut menekankan pentingnya kesalehan sosial mengiringi kesalehan individual.

Sina logor dina liang jarum, ulang sereg di buana. Hendaklah bersikap budiman, tertib, dan damai. Jangan sesekali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya adalah budi utama jasmani sempurna (cageur-bageur).

Sejak berdiri pada 5 September 1905 di bawah kepemimpinan tokoh yang dikenal dengan Abah Sepuh tersebut, pesantren menjadi simbol sekaligus bukti dari keluhuran Islam. Kehadirannya menjadi oase di tengah kegersangan mental dan keterpurukan fisik warga setempat.

Kekuatan spiritual keluarga besar pesantren tak bersifat rigid, terkungkung, justru menjelma menjadi daya dorong luar biasa bagi terciptanya perbaikan sebab itulah hakikat Islam. Sebuah perubahan.

Abah Sepuh yang wafat pada 25 Januari 1956 mampu mewujudkan Islam sebagai jalan hidup. Tidak hanya secara vertikal, tetapi juga horizontal, seperti membangun irigasi serta bendungan yang lantas disebut dengan Bendungan Nur Muhammad.

Untuk mendongkrak perekonomian, Abah Sepuh mendirikan pasar. Kepedulian terhadap lingkungan juga mendarah daging kepada ahli warisnya, yakni KH Shohibul Wafa Tajul Arifin.

Di bawah kearifannya, Pesantren Suryalaya ibarat sang surya yang menebarkan manfaat bagi alam semesta. Selaras dengan arti kata Suryalaya itu sendiri. Surya berarti matahari sedangkan laya bermakna terbit.

Tonggak prestasi figur yang akrab disapa Abah Anom itu ialah mendirikan Pesantren Remaja Inabah pada 1971. Pesantren tersebut unik lantaran menggunakan ajaran dan tuntunan agama untuk terapi penyembuhan para korban penyalahgunaan narkoba.

Menteri Agama Suryadharma Ali menaruh hormat atas sumbangsih Suryalaya. Umat Islam saat ini dituntut berperan aktif bagi masyarakat di berbagai bidang, mulai dari keagamaan, sosial, ekonomi, hingga politik.

Bermodalkan kepekaan terhadap sesama dan lingkungan serta bekal sumber daya manusia yang mumpuni, umat mesti menjadi tonggak perubahan bangsa dan negara.

Bila masyarakat miskin, ini berarti umat Islam miskin. Jika sejahtera, maknanya Muslim sejahtera. “Kuncinya di umat Islam,” kata Suryadharma saat menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Suryalaya, Senin (13/1).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement