Selasa 17 Dec 2013 12:25 WIB

Islam Berlabuh dan Jaya di Malaka

Rep: rosita budi suryaningsih/ Red: Damanhuri Zuhri
Selat Malaka
Foto: .
Selat Malaka

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi suryanimgsih

Kesultanan ini mencapai puncak masa kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Mansyur Syah.

Malaka. Nama ini mengena pada sebuah area di Semenanjung Malaya dengan nama sebuah selat yang memisahkannya dengan Pulau Sumatra.

Letaknya sangat vital. Yakni, merupakan sebuah jalur laut ramai dilalui orang yang melewati jalur Asia, terutama bagi para pedagang antarnegara.

Karena letaknya sangat strategis, masyarakatnya tumbuh dengan cepat. Budaya-budaya yang dibawa oleh para pedagang, termasuk Islam, diterima dengan baik dan berkembang dengan cepat.

Di lokasi yang banyak menjadi incaran para penguasa ini pernah berdiri sebuah kesultanan yang sangat terkenal dengan armada maritimnya yang kuat, yaitu Kesultanan Malaka.

Kesultanan Malaka, menurut pengamat sejarah Islam dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Prof Dien Madjid, didirikan oleh seorang tokoh yang bernama Parameswara.

Ia adalah seorang pangeran dari kerajaan di Pulau Sumatra yang mulai runtuh karena serbuan Majapahit. Parameswara bersama rombongannya kemudian melakukan hijrah, melarikan diri menyeberangi Selat Malaka.

“Ia lari hingga ke Tumasik (Singapura), kemudian lari lagi ke Muar (sekarang Johor, Malaysia), hingga sampailah ia ke Semenanjung Malaya,” ujarnya kepada Republika, pekan lalu.

Asal muasal nama Malaka sendiri, kata pengamat sejarah dan kebudayaan Melayu Mahyudin Al Yudra, berasal dari pohon rindang yang oleh penduduk setempat dinamakan pohon Malaka.

Suatu ketika, Parameswara sedang berburu dan beristirahat di bawah pohon rindang Malaka. Tiba-tiba anjing yang dibawanya untuk membantunya berburu diserang oleh seekor pelanduk berwarna putih.

Parameswara pun kagum dengan apa yang dilakukan pelanduk atau kancil tersebut, yang bisa mengalahkan anjingnya yang lebih besar hingga tercebur ke air. Ketika itulah, ia mendapatkan ilham dan memberi nama tempat yang akan ditinggalinya dengan nama Malaka.

Versi lain, ia menyebutkan Malaka berasal dari bahasa arab. “Dari kata malqa, yang berarti tempat pertemuan,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Balai Kajian dan Pengembangan Melayu yang berkantor di Yogyakarta itu.

Parameswara datang ke daerah yang kemudian dikenal sebagai Malaka ini sekitar tahun 1377. Tadinya, daerah tersebut merupakan dusun yang masih sangat sepi.

Penduduknya sangat sedikit dan masih percaya dengan animisme dan dinamisme. “Buktinya, banyak ditemukan patung-patung, menhir, dan batu-batu besar untuk upacara,” katanya.

Parameswara pun mulai membangun kawasan tersebut. Melihat lokasinya yang sangat strategis, ia membangun sebuah kota di bandar pelabuhan dan sebuah pasar.

Ia pun bisa membuat semua kapal yang melewati daerahnya, Selat Malaka, harus singgah di Malaka dan mendapatkan surat jalan darinya.

Malaka menjadi ramai oleh para saudagar yang melewati kawasan itu dengan kapal-kapal besarnya. Saingannya kala itu hanya satu, yakni Kerajaan Samudra Pasai.

Adapun satu kelebihan Samudra Pasai, yakni karena kerajaan tersebut Islam. Itu membuat saudagar dan pedagang dari Arab serta pedagang Islam lainnya lebih senang singgah di sana daripada di Malaka.

Parameswara pun sadar agar bisa menarik minat para saudagar Muslim tersebut, ia dan penduduknya harus masuk Islam. Tahun 1414 Parameswara resmi masuk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Iskandar Syah.

Ia juga meminang putri dari Sultan Zainal Abidin, yaitu Raja Samudra Pasai, untuk menjadi istrinya. Raja-raja yang memimpin setelahnya, semuanya Islam dan bisa mengembangkan kawasan Malaka menjadi bandar pelabuhan persinggahan yang lebih besar. Penduduknya yang Islam juga semakin bertambah.

Kesultanan Malaka mencapai puncak masa kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1458-1477). Tak hanya sebagai bandar perdagangan, tetapi Malaka juga berkembang menjadi pusat penyebaran dan perkembangan agama Islam.

Pemerintahan berlangsung dengan menjalankan hukum-hukum Islam dan ekonomi yang kuat. Daerah kekuasaannya pun semakin meluas hingga ke pantai timur Sumatra, seperti Kampar, Siak, Rokan, dan daerah lainnya. Ia juga bisa menguasai seluruh daerah di Semenanjung Malaya.

Demi memperkuat kedudukan Malaka di mata dunia, ia banyak menjalin kerja sama dengan berbagai kerajaan lain yang lebih besar. Bahkan, hingga menjalin hubungan dengan Cina.

Setelah wafat, ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Alauddin Riayat Syah. Ia bisa memimpin dan memakmurkan Kesultanan Malaka.

Ia melakukan pengamanan dalam negeri dari segala tindak kejahatan yang membuat saudagar yang singgah semakin betah.

Dalam masa pemerintahannya, dibuat aturan siapa pun yang berjalan di malam hari harus membawa suluh atau obor. Ia juga membangun balai sebagai pusat kegiatan masyarakat yang dijaga oleh seorang penghulu. Kekuasaan Malaka mulai melemah di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1488-1511).

Sultan ini naik takhta dalam usia yang masih belia sehingga tak mempunyai pengalaman dalam memimpin pemerintahan. Justru, ia banyak berfoya-foya dan main perempuan serta mengutamakan emosi.

Malangnya, ketika Kesultanan Malaka sedang dipimpin oleh raja yang lemah, Portugis mengetahui dan memanfaatkan situasi tersebut.

Portugis datang di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque, yang awalnya datang untuk menjalin perdagangan, namun maksud ini berubah ketika mereka tiba.

Karena tak mendapatkan izin untuk membuat sebuah gudang di Malaka, Portugis pun naik pitam, kemudian menyerang dan ingin menaklukkan Kesultanan Malaka.

Ancaman yang datang tersebut disambut dengan perlawanan yang sengit oleh rakyat Malaka. Dalam serangan pertama, portugis gagal dan kalah, tak sanggup melawan rakyat Malaka yang dipimpin Sultan Mahmud Syah dan Bendahara Sri Maharaja.

Namun, dengan kelicikannya melakukan politik adu domba, Portugis berhasil memecah belah para pembesar kerajaan. Kemudian, pada Agustus 1511 dilancarkanlah serangan kedua dan berhasil. Malaka kalah dan pelabuhan besarnya dikuasai Portugis.

Kesultanan Malaka berakhir saat itu. Pun berikut kedudukannya sebagai pusat penyebaran agama Islam karena tak banyak lagi saudagar Muslim yang singgah di sana.

Namun, bagi masyarakat lokalnya sendiri, Islam sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari mereka dan mereka terus mengembangkannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement