REPUBLIKA.CO.ID, Akad nikah yang dilangsungkan melalui telepon dimana wali mengucapkan ijabnya di satu tempat dan calon suami mengucapkan kabulnya dari tempat lain yang jaraknya berjauhan. Meskipun tidak saling melihat, ucapan ijab dari wali dapat didengar dengan jelas oleh calon suami.
Begitu pula sebaliknya, ucapan kabul calon suami dapat didengar dengan jelas oleh wali pihak perempuan. Bagaimana kedudukan ijab dan kabul dalam kasus tersebut? Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan ulama fikih berpendapat bahwa ijab dan kabul dipandang sah apabila telah memenuhi beberapa persyaratan.
Meski begitu, mereka berbeda pendapat dalam menginterpretasikan istilah ”satu majelis” tersebut: apakah satu majelis itu diartikan secara fisik sehingga dua orang yang berakad harus berada dalam satu ruangan yang tidak dibatasi oleh pembatas yang menghilangkan arti “satu ruangan”.
Atau diartikan secara nonfisik sehingga ijab dan kabul harus diucapkan dalam satu upacara yang tidak dibatasi oleh kegiatan-kegiatan yang menghilangkan arti ”satu upacara” tersebut, seperti perbuatan atau perkataan yang tidak ada kaitannya dengan acara akad nikah. Antara ijab dan kabul harus bersambung.
Imam Syafi‘i lebih cenderung memandangnya dalam arti fisik. Wali dan calon suami harus berada dalam satu ruangan sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua pihak saling mendengar dan memahami secara jelas ijab dan kabul yang mereka ucapkan. Sehingga ijab dan kabul benar-benar sejalan dan bersambung.
Kesinambungan ijab dan kabul yang merupakan esensi dari “satu ruangan” itu merupakan manifestasi kerelaan dan ketulusan dari kedua pihak yang berakad. Selain itu, bersatunya ruangan akad erat kaitannya dengan tugas dua orang saksi, yakni memberitahukan pihak lain, bila diperlukan, bahwa kedua suami istri itu benar-benar telah melakukan akad sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Menurut Imam Syafi'i, dua orang saksi harus melihat secara langsung dua orang yang berakad. Dua orang saksi tidak cukup hanya mendengar ucapan ijab dan kabul yang diucapkan oleh mereka. Jadi, Imam Syafi‘i berpendapat bahwa kesaksian tuna netra tidak dapat diterima karena ia tidak dapat melihat langsung pihak yang berakad.
Pun, akad nikah tidak sah bila dilakukan di malam gelap gulita tanpa alat penerang. Lebih lanjut Imam Syafi‘i mengatakan tugas saksi adalah memberitahu pihak lain bila diperlukan bahwa kedua suami istri itu benar-benar telah melakukan akad sesuai dengan ketentuan yang beriaku. Agar dapat melaksanakan tugas, kedua saksi harus mengetahui secara pasti bahwa suami istri itu telah melakukan akad.
Kepastian itu diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran yang sempuma. Meskipun keabsahan suatu ucapan atau perkataan dapat dipastikan dengan pendengaran yang jelas, namun kepastian itu harus diperoleh dengan melihat secara langsung wali dan calon suami.
Apabila wali berteriak keras mengucapkan ijab dari satu tempat, kemudian disambut oleh kabul calon suami dengan suara keras pula dari tempat lain, dan masing-masing pihak saling mendengar ucapan yang lain, maka akad nikad seperti itu tidak sah.
Karena, kedua saksi tidak dapat melihat dua orang yang melakukan ijab dan kabul dalam satu ruangan. Dengan demikian, menurut Imam Syafi‘i, akad nikah melalui telepon tidak dapat dipandang sah karena syarat tersebut di atas tidak terpenuhi.