REPUBLIKA.CO.ID, LUANDA -- Pemerintah Angola membantah pemberlakuan aturan diskriminatif terhadap Muslim. "Ada delapan organisasi Islam yang tidak satupun memenuhi syarat. Ini membuat mereka tidak bisa mempraktekan keyakinannya," ungkap Menteri Luar Negeri, Georges Chikoti, seperti dilansir reuters, Senin (2/12).
Menurut Chikoti, telah terjadi kesalahpahaman tentang tindakan pemerintah. Yang benar, seluruh organisasi Islam menolak kerjasama dengan pemerintah. Demikian pula organisais non-Muslim lain. "Organisasi keagaman perlu mengajukan permohonan pengakuan hukum," kata dia.
Menurut hukum Angola, sebuah organisasi keagamaan membutuhkan lebih dari 100 ribu anggota, dan memiliki perwakilan 12 dari 18 provinsi di Angola. Ketika payung hukum diberikan, mereka berhak membangun sekolah dan tempat ibadah.
"Jadi, tidak ada Muslim yang dianiaya," kata dia. Kebijakan pemerintah, lanjutnya, tidak ada yang menganiaya satu agama. Kalau pun ada, itu hanyalah asumsi komunitas Muslim.
Chikoti mengatakan Angola tengah menghadapi masuknya imigran ilegal dan banyak dari mereka Muslim. Dia menambahkan banyak Muslim mendapatkan izin untuk membangun gudang komersial dan kemudian digunakan untuk membangun masjid , tanpa memperoleh izin legal atau izin bangunan khusus untuk tempat-tempat seperti ibadah agama .
"Tak satu pun dari masjid dibangun sesuai dengan hukum . Di Angola ada sejumlah besar Muslim yang memasuki negara itu secara ilegal dan kemudian mempraktekkan iman mereka di tempat mereka perdagangan , " katanya .
Bantahan itu mendapat respon dari komunitas Muslim. Komunitas Muslim Angola (ICA) menyatakan ada ratusan ribu Muslim yang dianiaya. Soal legalisasi organisasi, itu hanyalah akal-akalan pemerintah. "Semua organisasi Islam telah memenuh syarat itu. Nyatanya," kata dia.