Senin 02 Dec 2013 14:40 WIB

Chicago, Cingogo Alias Nongkrong

Erick Yusuf
Foto: republika
Erick Yusuf

REPUBLIKA.CO.ID, Bismillahirrahmaanirrahiim,

Bang Apiew sohib saya, sepulang dari Chicago salah satu kota di Amerika sana bercerita sambil melahap ayam bengawan solo “SB” (sambel banyak) karena kangen masakan Indonesia. Ketika kita memasuki resto tersebut ada beberapa anak muda yang nongkrong di pinggir jalanan, dan agak sedikit mempersempit ruang jalan kita masuk.

Di sela-sela cerita tentang perjalanannya di Amrik sana, dia bilang dalam bahasa Sunda “euweuh nu cingogo didinya mah euy..hehe” artinya ga ada yang jongkok (dalam rangka nongkrong) disitu mah (di kota Chicago). Tidak seperti tadi ketika kita lewat jalan masuk resto.

Jika kita telaah budaya nongkrong, mungkin ada di setiap Negara. Saya pernah satu kali melintasi subway di kota Hamburg, dan melintasi kelompok anak muda Neo Nazi yang sedang nongkrong disana. Mereka dikenal rasis apalagi terhadap orang Asia. Karenanya dengan langkah kecil yang cepat, sambil berdoa saya bergegas meninggalkan mereka. Di setiap Negara dan bangsa ternyata ada budaya nongkrong, hanya mungkin dengan gaya yang berbeda-beda. Namun khusus di Indonesia, ada gaya nongkrong sambil jongkok. Yang kalo di kota Bandung, orang-orang Sunda menyebutnya “cingogo”.

Hal inipun dulu terjadi di zaman Rasulullah SAW. beberapa orang duduk-duduk di pinggir jalan alias nongkrong. Lalu Rasul mendatanginya; Dari Abu Sa’id Al-Khudriy ra. Nabi SAW, beliau bersabda: “Jauhilah duduk-duduk di tepi jalan!” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat- tempat itu, karena di tempat itulah kami membicarakan sesuatu.”

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kalian merasa tidak bisa untuk meninggalkan duduk-duduk di sana, maka penuhilah hak jalan itu.” Para sahabat bertanya: “Apakah hak jalan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Memejamkan mata, tidak mengganggu, menjawab salam, Amar ma’ruf dan nahi munkar.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain “Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi munkar”.

Sangat dianjurkan menahan pandangan dikarenakan orang yang akan melewati jalan mestilah akan risih, terganggu bahkan takut melewati jalan tersebut jika ditatap tajam apalagi dengan sengaja. Apalagi jika yang lewat adalah akhwat. Al Qur’an pun sudah mengaturnya dalam ayat; “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS. An Nuur, 24 : 30)

Kemudian dalam lanjutan hadits tersebut menyingkirkan gangguan. Dalam hadits dari sahabat Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sungguh, aku telah melihat seorang lelaki yang sedang menikmati kenikmatan di surga disebabkan ia memotong duri yang berada di tengah jalan, di mana duri itu mengganggu kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lalu disebutkan juga menjawab salam. Aturan salam inipun telah diatur oleh Rasul siapa yang hendaknya memberi salam terlebih dahulu; Rasulullah saw. bersabda: Seorang pengendara hendaknya mengucapkan salam kepada pejalan kaki dan pejalan kaki mengucapkan salam kepada orang yang duduk dan jama’ah yang beranggota lebih sedikit mengucapkan salam kepada jama’ah yang beranggota lebih banyak. (Shahih Muslim No. 4019)

Terakhir adalah beramar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana ayat; “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar,..” (QS. At Taubah, 9 : 71)

Subhanallah, inilah indahnya Islam. Agama yang menggaris bawahi akhlak. Bahkan duduk-duduk atau nongkrong di jalananpun secara etika diatur. Agar tidak ada orang yang mendzholimi. Dari hadits di atas kita dapat simpulkan bahwa sebaiknya jika bisa, hindari saja duduk-duduk di pinggir jalan. Selain akan mengganggu orang yang lewat, juga mungkin ada beberapa pekerjaan lain yang lebih bermanfa’at yang bisa dikerjakan dari pada hanya sekedar nongkrong.

Namun jika mesti berada di pinggir jalan, atau duduk-duduk alias nongkrong berarti orang-orang tersebut harus mematuhi aturannya. Tidak seperti orang-orang yang nongkrong dewasa ini. Seringkali kita risih, terganggu oleh orang yang nongkrong. Menghalangi jalan, apalagi jika lebar jalannya kecil atau hanya sebatas gang. Bahkan dulu ada guyonan ‘gang seribu punten”.

Artinya gang/jalan kecil dengan seribu permisi. Dikarenakan banyaknya preman-preman yang duduk-duduk atau nongkrong di pinggirnya membuat kita selalu bilang punten/permisi berulang-ulang sampai hiperbolanya seribu kali.

Kembali kepada obrolan ringan dengan Bang Apiew tadi bahwa tidak ada orang bule yang nongkrong sambil jongkok, apalagi sambil main gaple plus gitar. Mungkin mereka kakinya panjang-panjang jadi tidak bisa nongkrong sambil jongkok. Mungkin, hehe..

Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Ustaz Erick Yusuf: Pendiri iHAQi

@erickyusuf

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement