REPUBLIKA.CO.ID,
Nurussalam mencetak santri menjadi SDM unggul.
Tahun 1983 adalah momentum paling bersejarah bagi Pesantren Nurussalam. Lembaga pendidikan Islam yang berlokasi di tempat pengasingan Bung Karno, Rengas Dengklok, Karawang, Jawa Barat, berdiri ketika itu. Sistem yang diterapkan adalah sorogan.
Sistem ini, dikenal di kalangan pesantren yang memakai sistem dan kurikulum salaf tradisional. Teknik pengajian sistem ini, yakni membaca kitab secara individul atau seorang murid nyorog (menghadap guru sendiri-sendiri) untuk dibacakan (diajarkan) oleh gurunya beberapa bagian dari kitab yang dipelajarinya, kemudian sang murid menirukannya berulang kali.
Sistem itu bertahan hingga era 1990-an. Tepatnya, pada 1993, KH Nurdin yang mendirikan Nurussalam meninggal dunia. Santri berkurang. Pada 1996, jumlah santri hanya tersisa 10 orang, salah satunya putra sang pendiri, Dede Haris.
Para santri yang bertahan tersebut berasal dari kampung-kampung sekitar pesantren. “Paling jauh dari Karawang,” jelas Ustaz Dede Haris kepada Republika, Senin (11/11).
Pada tahun yang sama, pesantren mengubah sistemnya menjadi pesantren modern. Pesantren membuka pendidikan SMP dan SMA.
Dede Haris juga menjadi murid pertamanya. Tamat dari SMP, Dede memutuskan untuk menimba ilmu di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Di pesantren yang didirikan oleh Trimurti, tiga bersaudara (KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fananie, dan KH Imam Zarkasy) tersebut, Dede menimba ilmu selama empat tahun.
Tiga tahun untuk mengemban pendidikan di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI). Sedangkan, satu tahunnya untuk pengabdian sebagai guru di Gontor III Kediri.
Sepanjang masa belajar di Gontor, Dede memperhatikan betul bagaimana sistem di pondok terbangun. Pertama, dari aktivitasnya. Santri selalu sibuk beraktivitas, mulai dari bangun tidur sekitar pukul 03.30 WIB dini hari sampai tidur lagi pada pukul 22.00 WIB.
Selama beraktivitas, santri tidak hanya belajar di kelas, tapi juga mengembangkan minat dan bakat. Ada yang menyukai olahraga, seperti sepak bola, takraw, basket, bulu tangkis, tenis meja, seni bela diri, dan lainnya. Ada juga yang aktif mendalami kursus bahasa Inggris dan Arab.
Santri juga aktif mengikuti kegiatan spiritual, seperti mengaji Alquran dan mendengarkan wejangan dari santri senior dan guru-guru mereka.
Mereka juga aktif belajar di kelas dan luar kelas. Data-data mereka tersusun rapi. Ia pun mengaku banyak menyerap ilmu soal dunia pesantren modern dari Ustaz Ahmad Suharto, staf pengasuh di Pondok Gontor III, Kediri, Jawa Timur.
Sosok sang Ustaz, dalam kacamata Dede, adalah figur yang bersahaja. Sebagai wakil pimpinan pondok, beliau turun tangan langsung mengikuti kegiatan yang ada.
Ketika guru bermain sepak bola, Ustaz Suharto ikut ‘merumput’. Kesempatan seperti ini membuka peluang untuk saling berbagi masukan. “Ini menjadi energi positif bangun pesantren,” jelas Dede.
Dia kemudian mencontoh gaya kepemimpinan Ustaz Suharto ketika mengelola Pondok Pesantren Nurussalam peninggalan ayahnya. Dede, meskipun sebagai pengelola pondok, selalu turun ke bawah mendengarkan masukan dari guru dan santri. Tujuannya adalah satu, mendapatkan masukan.
Dia kemudian menerapkan apa yang didapatnya dari Gontor di Nurussalam.Yang paling utama adalah pengasuhan. Dia langsung menerapkan santri harus bermukim di pondok. Tidak boleh pulang pergi. Mereka harus mengikuti kegiatan pondok mulai pagi sampai malam.
Yang ditonjolkan, jelasnya, adalah kepesantrenan, bukan SMP dan SMA. Kepesantrenan, menurutnya, mampu membentuk kepribadian santri-santri.
Mereka menjadi kuat mentalnya. Tidak mudah goyah menghadapi cobaan. Mereka dapat bertindak cepat ketika mengalami impitan hidup. “Banyak manfaat yang didapat dari kehidupan pesantren,” imbuhnya.
Kini, santri Nurussalam berkembang. Jika pada 1996 hanya 10 orang, kini sudah 350 orang. Setiap tahunnya tidak kurang dari 200 orang mendaftar untuk menjadi santri. Namun, karena keterbatasan gedung, pihak pesantren hanya menerima 150 anak.
Pramuka di pesantren ini berkembang pesat. “Untuk di Karawang, kita yang terbaik,” papar Dede. Ada juga santrinya yang bermukim di Jepang untuk mengikuti pendidikan singkat di sana.
Alumninya tersebar di banyak daerah. Ada yang meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi dan ada yang menekuni berbagai profesi. Yang jelas, para santri dicetak agar menjadi generasi unggul dan bermanfaat. “Tidak hanya untuk agama, bahkan dunia,” tuturnya.