Jumat 27 Sep 2013 10:56 WIB

Menakar Sabar

Sabar (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Sabar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ina salma Febriany

 

Sabar. Perpaduan lima huruf yang mudah dilontarkan, namun cukup sulit dipraktikkan. Sabar dalam makna sebenarnya ialah bukan diam tanpa usaha, putus asa tanpa mau bangkit dan berprasangka baik pada Allah. Hakikat sabar ialah ‘dinamis’ dan bergerak menuju perubahan. Sabar tidak statis yang jika kita diam ketika ‘dicoba’ oleh Allah, maka akan sulit menemukan jalan keluar.

Hidup memang menyisakan misteri, sebagai manusia biasa, kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi dalam hidup ini meski sedetik kemudian. Jangankan kita, Nabi Muhammad Saw saja yang diberikan gelar kehormatan sebagai penerima wahyu Al-Quran, tidak mengetahui sekecilpun tentang peristiwa hari kiamat, pun tentang diri beliau sendiri.

Kendati demikian, bukan berarti dalam ‘ketidaktahuan’ kita akan ilmu Allah, membuat kita pasrah berusaha. Allah memiliki cara yang tak terhingga dan unik luar biasa dalam rangka mengangkat derajat manusia.    

Salah satu contoh dari cobaan itu misalnya saja kecelakaan. Secara lahiriah, mungkin kita akan beranggapan bahwa kecelakaan itu terjadi lantaran kurangnya kewaspadaan dalam berkendara. Namun sebenarnya, ada ‘makna’ tersirat dari cobaan itu. Mungkin teguran, atau mungkin pula cobaan Allah yang tak lain adalah untuk mendidik kita untuk naik ke tingkat sabar yang lebih baik.

Berdiskusi tentang sabar, tak lepas dari kisah-kisah inspiratif para Nabi utusan Allah dalam mengemban risalah-Nya. Contoh dari sekian Nabiyallah yang dikaruniakan kesabaran itu ialah Nabi Ya’qub as, atas kerinduan pada Yusuf as, menyebabkan kedua mata beliau buta karena terus menerus menangis. Atau kisah Nabi Ayyub, yang Allah ‘coba’ dengan hilangnya harta benda lalu penyakit kulit menahun. Dan terakhir, Rasulullah SAW, suri tauladan kita—berkat kesabaran beliau—islam bisa tumbuh dan berkembang hingga seperti masa ini.

Berbagai kalangan menyoal sabar. Sabar sendiri, menurut kaum sufi terbagi atas tiga tingkatan yaitu mutashabbir fillah yang berarti seseorang yang belum sepenuhnya sabar. Kesedihan terus menimpanya saat Allah memberikan cobaan. Kedua, Shaabir Fillah wa Lillah, sabar tingkat dua ini dimiliki oleh sebagian orang yang sudah dapat bersabar (meski belum sepenuhnya) dengan tetap mengeluh atas ketetapan-Nya. Ketiga, Shabbar—nah, sabar jenis ketiga inilah sabar yang terbaik di antara dua jenis tersebut di atas karena orang yang telah memiliki sifat ini, mereka mengurangi ‘keluhan’ dan sedih yang berlebihan, saat Allah menyapanya dengan cobaan.

Ibn Qayyim AL-Jauzi menggolongkan sabar kedalam dua jenis yaitu shabru ‘alaa Allah (Uluhiyyah) yakni bersabar karena mengingat Allah-lah yang Maha Menciptakan kita sepaket dengan cobaan-cobaan-Nya. Sabar yang kedua ialah Shabru Billah (Rubuubiyyah) yaitu bersabar dengan meyakini bahwa ada ‘didikan’ Allah yang mengandung hikmah atas cobaan itu.

Siapapun yang menggolongkan dan apapun definisi dari makna ‘sabar’, sejatinya sabar hanya menyiratkan satu hal: menakar sabar itu dalam diri kita, mengoreksi diri, apakah selama ini kita telah benar-benar bersabar atas ujian-Nya? Ataukah sabar kita hanya sampai di mulut dan belum turun ke hati? Atau bahkan kita lebih sering berprasangka atas ujian-Nya, kendati sebenarnya kita tahu ada ‘hikmah’ dalam setiap kejadian yang tidak diperkenankan.

“Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik," begitu Allah ungkapkan dalam  Qs Al-Ma'arij ayat 10. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Saw bersabda, "Siapa yang sabar saat ditimpa suatu cobaan, atau sampai ia ditusuk duri sekalipun, maka, surga untuknya,” (HR Bukhari Muslim)

Menakar sabar berarti menhadirkan seluruh hati, pikiran, jiwa dan raga untuk lebih meyakini, bahwa Allah Swt, tidak mungkin menghendaki sesuatu yang buruk bagi setiap hamba-Nya. Dia selalu memberikan apa yang kita inginkan di saat yang tepat dengan cara dan waktu yang telah ditetapkan-Nya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement