REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan pengurusan label halal seharusnya tidak memberatkan produsen makanan. Apalagi bisa menjadikan sebuah teror bagi restoran dan produsen makanan.
Ketua Badan Halal PBNU Muhammad Maksum Mahfudz mengatakan pendekatan sertifikasi halal seharusnya berfungsi sebagai insentif bisnis. Bukan teror dan bukan pula pemberitaan yang dapat meneror produsen makanan dan membuat mereka terpaksa melakukan sertifikasi.
Hal ini disampaikan oleh Ketua PBNU Muhammad Maksum Mahfudz menanggapi adanya keinginan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), mengumumkan resto yang dianggap belum memiliki label halal MUI.
"PBNU melihat ini adalah tugas pelayanan umat, jangan sampai ada teror bagi produsen makanan atau kesempatan cari uang, dan proyek sertifikasi, terlebih kepentingan jangka pendek apapun," kata Muhammad kepada Republika, Kamis (26/9).
Menurutnya, pelayanan label halal ini harus inklusif dan tidak boleh hanya eksklusif bagi yang membayar saja. Terlebih sertifikasi ini hanya memberikan kenyamanan bagi konsumen tapi merugikan produsen.
Dengan demikian, produsen memahami bahwa sertifikasi halal juga dapat memberi nilai tambah bagi bisnis produsen, bahkan bisa menjadikan sarana promosi ke pelanggan. Karenanya, PBNU melihat pelayanan label halal ini harus partisipatif.
Bisa dilakukan oleh lembaga sertifikasi halal manapun selama memenuhi kriteria tertentu, seperti dalam hal ini Badan Halal NU yang telah diluncurkan beberapa waktu yang lalu.
"Tata Politik negara sudah berubah. Bukan lagi masanya untuk monopoli apapun, termasuk urusan sertifikasi," Muhammad menegaskan.
Sebagai lembaga yang melayani publik, tentunya lembaga sertifikasi halal ini harus inklusif. Dengan kata lain tidak hanya menyasar restoran besar saja, tapi dapat menyentuh siapa saja termasuk warteg, dan penjual makanan berskala kecil.
Karenanya, NU ingin ada pendekatan pendidikan dan pelayanan publik dalam sertifikasi halal ini. Ia menegaskan sertifikat halal sama tidak harus bersifat monopolistik. Sehingga tidak terjadi penteroran atau menyebar fitnah bagi para pebisnis. "Itulah jalan positif, menuju fastabiqul khairaat," pungkasnya.