Selasa 03 Sep 2013 19:26 WIB

Ketika Pondok Pesantren Semakin Pragmatis

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Citra Listya Rini
Menteri Agama Suryadharma Ali
Foto: Republika/Yasin Habibi
Menteri Agama Suryadharma Ali

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam acara silaturahim ulama di Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah, Garut, Jawa Barat, Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali menjelaskan kondisi pesantren saat ini. 

Lembaga pendidikan tertua di Indonesia itu terus berkembang pesat. Setiap bulannya ada saja pesantren baru dibangun. Santri-santri terus berdatangan untuk menimba ilmu di pesantren. Misalnya, pesantren-pesantren di Tasikmalaya yang terus bertambah. 

"Tapi, kenapa Ahmadiyah tetap saja ada," kata Suryadharma sambil bertanya di hadapan sekitar seribu ulama Garut, Sabtu (31/8) lalu.

Menurut Suryadharma, salah satu faktornya adalah umat Islam tidak lagi bersatu. Jumlah umat Islam memang banyak, tapi tidak menyatu. Umat Islam Indonesia menurutnya terjebak pada kepentingan-kepentingan sesaat sehingga kurang memperhatikan kepentingan dakwah.

Data Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdhatul Ulama menjelaskan jumlah pesantren di Indonesia mencapai 24 ribu. Yang tradisional berjumlah 13.477. Sisanya adalah pesantren modern dan semuanya tersebar di seluruh Indonesia.

Masing-masing pesantren memiliki santri yang datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Mereka semuanya menuntut ilmu, menempati asrama, dan memenuhi masjid setiap saat. 

Pondok pesantren masih menerapkan pendidikan tradisional, namun banyak juga sudah modern, sehingga tidak kalah bersaing dengan pendidikan yang ada di sekolah. Menurut Suryadharma, pendidikan di lingkungan pondok pesantren sesuai dengan tuntutan agama Islam yang tertuang dalam kitab suci Alquran dan Hadist Nabi SAW.

Ketua Rabithah ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdhatul Ulama, Amin Haedari, tidak membantah pernyataan Suryadharma. Ia mengatakan memang ada pesantren yang hanya menjadi simbol sehingga tidak mempengaruhi masyarakat sekitar.

Pesantren berdiri sendiri, besar sendiri, pintar sendiri, sedangkan masyarakat sekitarnya terjerembab dalam pemahaman akidah Islam yang bertentangan dengan sumber ajaran Islam.

Menurutnya, pesantren seperti ini terjebak dalam hal-hal pragmatis. Kyainya sibuk dengan aktifitas di luar pesantren. Kyainya asyik berpolitik praktis atau menggalang dana. Pesantrennya semakin besar dan megah. Namun, tidak berdampak apa-apa bagi kehidupan masyarakat sekitarnya.

Ulama dan santri tidak lagi memainkan peranannya dalam berdakwah. Pengajian mingguan atau bulanan yang biasanya digelar untuk masyarakat sekitar menghilang. Yang ada hanya kegiatan belajar mengajar. 

Pesantren menjadi eksklusif, hanya menjadi tempat kaum elit. Mereka yang tidak elit tidak dapat memasuki pesantren. "Kita tidak dapat memungkiri yang seperti ini memang ada," kata Amin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement