REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah
Suatu hari Khalifah Abbasiyah Harun Ar Rasyid pergi haji kemudian berziarah ke Masjid Nabawi dan sangat ingin bertemu serta belajar kepada Imam Malik bin Anas, imam mazhab terkemuka.
Dari tempat menginap, Ia mengirim utusan untuk menyampaikan keinginannya untuk belajar dan memohon agar Imam Malik berkenan menemuinya. Namun Imam Malik bin Anas tidak mau memenuhinya.
Imam Malik menyampaikan pesan agar Amirul Mu’minin sebagai penuntut ilmu yang datang ke majelisnya. Khalifah menuruti permintaan untuk berkunjung ke tempat Imam Malik bin Anas mengajar, namun memohon agar majelis ilmunya kosong dari orang lain.
Imam Malik menolak permintaan itu seraya berkata, “Jika ilmu tidak diberikan kepada orang umum, maka tak berguna ilmu bagi orang khusus!”
Ada dua hikmah dari penolakan Imam Malik bin Anas terhadap permintaan Khalifah.
Pertama, mengingatkan bahwa meskipun seorang Khalifah mendapat mandat kekuasaan yang besar--atas nama Allah pula--namun kekuasaan itu tak dapat menundukkan ketinggian ilmu. Malaikat bersujud kepada Adam setelah mengetahui ilmu Adam lebih tinggi daripada pengetahuan Malaikat.
Demikian juga kekuasaan Jin terkalahkan oleh Asyif Barchoya ahli Ilmu Nabi Sulaeman yang mampu lebih cepat memindahkan singgasana. Kekuasaaan Namrud ditundukkan oleh ilmu dan argumentasi Ibrahim tentang berhala besar yang menghancurkan berhala-berhala kecil. Semuanya itu merupakan bukti akan ketinggian ilmu.
Kedua, dapat saja Khalifah belajar secara private, namun pilihan Imam Malik adalah Majelis yakni belajar bersama sama dengan yang lain. Di samping status penuntut ilmu itu sama, juga “majelis ilmu” jauh lebih bermashlahat. Berjamaah lebih berkah daripada munfarid.
Secara interelasi, belajar bersama akan menumbuhkan sikap saling memotivasi dan mengoreksi. Sementara secara transendental belajar bersama-sama itu digaransi untuk mendapat bantuan do’a dari Malaikat.
Kekuasaan yang di dalamnya ada unsur pengaruh, tekanan, atau pula uang, sering digunakan untuk menggiring kaum berilmu tunduk dan patuh pada kemauan kekuasaan tersebut. Karenanya tak jarang kaum intelektual ataupun ulama suka merendahkan dirinya untuk mendatangi atau mendekat-dekatkan diri dengan para penguasa.
Dalam bahasa umum sering disebut dengan pelacur intelektual atau dalam bahasa Nabi disebut lisun (pencuri). Mereka membungkuk-bungkuk dan selalu siap untuk memberi stempel kepada setiap kemauan pejabat negara.
Kisah lainnya, Khalifah Adhudiddaulah mengutus Qadhi Abubakar Al Baqilani untuk menyampaikan surat kepada Kaisar Romawi. Ketika tiba di ibukota, Kaisar mengetahui utusan ini adalah ulama dengan ilmu dan martabat yang tinggi.
Kaisar berfikir tentang penyambutan. Tak mungkin ia memandang Qadhi Abubakar Al Baqilani seperti rakyat biasa yang harus mencium tanah jika menghadap Kaisar sebagai penghormatan. Akan tetapi di sisi lain dia tidak ingin siapapun yang menghadap kepadanya tidak menunjukkan kerendahan dirinya dihadapan Kaisar.
Maka solusi ditemukan. Dipindahkannya tempat duduk yang biasa digunakan untuk menyambut tamu di belakang pintu. Dirancang sedemikian rupa agar tamunya Qadhi Al Baqilani ketika memasuki ruangan terpaksa harus membungkuk berjalan menuju Kaisar.
Ketika tiba sang tamu, maka Qadhi Abubakar Al Baqilani ternyata memutar punggungnya dan membungkukkan tubuhnya lalu berjalan mundur dengan membelakangi arah tempat duduk Kaisar hingga sampai dihadapannya. Kemudian baru berdiri tegak dan berbalik kepadanya. Disampaikanlah maksud kedatangannya.
Kaisar Romawi mengagumi kecerdikan dan penghargaan diri terhadap status pemangku ilmu sang Qadhi.
Seperti dijanjikan dalam Alquran, Allah SWT akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Orang alim hanya takut kepada Allah. Karenanya sebagai pemangku ilmu Allah, ulama sudah seharusnya menjaga wibawa keilmuannya.