Sabtu 03 Aug 2013 08:31 WIB

Zakat Fitrah Istri, Siapa yang Membayar?

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Endah Hapsari
Zakat fitrah (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Zakat fitrah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Zakat fitrah adalah kewajiban bagi tiap Muslim yang memiliki kelebihan bahan pokok makanan di pengujung Ramadhan menjelang 1 Syawal. Zakat fitrah berfungsi untuk menyucikan jiwa orang-orang yang membayar zakat tersebut. Seperti yang ditegaskan hadis riwayat Abdullah bin Umar dan dinukilkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah SAW menetapkan kewajiban berzakat fitrah ini sebesar satu sha’ dari kurma atau gandum atau bahan makanan pokok lainnya. 

Lantas, siapakah yang wajib membayar zakat fitrah istri? Bagaimana bila suami tidak mampu menunaikan kewajiban membayar zakat karena faktor tertentu, sedangkan si istri merupakan wanita karier yang berkecukupan? Bagaimana dengan zakat fitrahnya? 

Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashhal fi Ahkam al-Mar'ati menjelaskan, para ulama dari Mazhab Hanbali, Syafi’i, dan Maliki sepakat bahwa jika seseorang telah berkewajiban membayar fitrah dan ia memiliki tanggungan keluarga yang mesti ia nafkahi, ia pun wajib membayar zakat fitrah mereka. 

Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Imam Syafi’i dalam al-Umm. Disebutkan bahwa zakat fitrah itu wajib dibayar oleh mereka yang memiliki tanggungan nafkah bagi keluarga atau kerabatnya.    Selain itu, dalam pandangan Mazhab Hanafi, seorang suami tidak wajib membayar zakat istrinya tersebut. Kecuali, jika memang ia dengan sukarela membayarnya, tidak jadi masalah. Mazhab yang berafiliasi kepada Imam Hanafi ini menganalisis hadis riwayat Imam Syafi’i tersebut bersifat umum. Dalam konteks istri, seorang suami tidak memiliki otoritas penuh, kecuali ikatan akibat pernikahan. 

Karenanya, tidak wajib membayar zakat fitrahnya. Sedangkan, menurut Imam Ibnu Hazm dan Mazhab Zhahiri, secara keseluruhan ketidakwajiban membayarkan fitrah tersebut tidak hanya terbatas pada istri. Akan tetapi, ketentuan itu berlaku pula di luar istri.  Opsi ini juga didukung oleh Imam Ibn al-Mundzir dan ats-Tsauri. Seperti halnya zakat mal, tidak ada pola pembayaran untuk orang lain dalam zakat fitrah. 

Lalu, bagaimana jawaban atas kasus kedua, bila seorang suami tidak mampu membayarkan zakat fitrah, sedangkan di satu sisi istri yang bersangkutan berkecukupan lantaran ia seorang wanita karier, misalnya. Maka, Prof Abdul Karim Zaidan melanjutkan, ada beberapa pendapat di kalangan Mazhab Syafi’i yaitu pertama, istri yang berkecukupan tadi tidak wajib membayar zakat fitrah, baik untuk dirinya sendiri ataupun keluarganya. Ini karena kewajiban tersebut gugur dengan ketidakmampuan suami. 

Kedua, zakat itu tetap wajib bagi istri. Dan, ia wajib membayar fitrahnya. Pendapat ini juga didukung oleh Mazhab Hanbali. Akan tetapi, ujar Prof Abdul Karim Zaidan, terlepas dari ragam perbedaan ini, sesuai dengan kaidah al khuruj minal khilafi mustahab bahwa menghindari perbedaan itu sangat dianjurkan. Maka, dianjurkan bagi istri yang bersangkutan tetap mengeluarkan fitrah untuk dirinya. Istri tersebut juga tidak perlu menjual perhiasannya untuk membayar zakat fitrah bila dalam kondisi sang suami tak lagi mampu membayarkan zakat fitrah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement