Selasa 16 Jul 2013 20:37 WIB

Rakaat Tarawih

 Umat Muslim menjalankan shalat Tarawih pertama bulan suci Ramadhan 1434 H di Masjid Istiqal, Jakarta, Selasa (9/7).  (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Umat Muslim menjalankan shalat Tarawih pertama bulan suci Ramadhan 1434 H di Masjid Istiqal, Jakarta, Selasa (9/7). (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb

Ustaz, sebenarnya berapakah jumlah rakaat shalat Tarawih? Sebab, ada yang delapan dan ada yang 20 rakaat. Bagaimana menyikapinya dan apa hukumnya membaca doa qunut ketika memasuki hari ke-16 hingga akhir Ramadhan saat shalat witir?

Andika Mahyudin-Bandung

Waalaikumussalam wr wb

Shalat Tarawih bermula dari sunah Rasul ketika beliau shalat bersama para sahabatnya sebanyak dua atau tiga malam. Setelah itu, beliau melakukannya sendiri di rumah karena tidak ingin memberatkan umatnya dan membiarkan para sahabatnya melakukan sendiri-sendiri (HR Al-Bukharidan Muslim).

Kebiasaan Tarawih sendiri-sendiri berlangsung sampai masa Abu Bakar dan baru pada masa Umar bin Khattab diselenggarakan Tarawih berjamaah yang diimami oleh Ubay bin Ka’ab (HR al-Bukhari).

Hadis Riwayat al-Bukhari tidak menjelaskan bilangan rakaat Tarawih yang diimami oleh Ubay. Bilangannya diperselisihkan antara 11, 13, dan 21 rakaat, termasuk witir. Perbedaan itu, menurut Ibnu Hajar, berpulang kepada panjang dan pendeknya bacaan.

Ketika bacaan shalatnya panjang, rakaatnya menjadi sedikit, begitu sebaliknya. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, di Madinah orang biasa melakukan shalat Tarawih 36 rakaat, ditambah tiga rakaat witir, dan itu, kata Imam Malik, sudah lama dilakukan.

Bahkan, Imam Syafi’i pernah melihat orang-orang shalat Tarawih di Madinah sebanyak 39 rakaat dan di Makkah 23 rakaat.

Menurutnya, amat baik jika bacaan shalat diperpanjang dan bilangan rakaat dipersedikit dan juga dinilai baik jika rakaat diperbanyak bacaan dipersingkat.

Yang pertama, menurut Syafi’i, lebih utama. Sebagian ulama salaf bahkan melakukannya 40 rakaat selain witir (Fath al-Bari, 5/157).

Jadi, tidak perlu ada sikap saling menyalahkan selama shalat dilakukan dengan penuh khusyuk dan thuma’ninah (tenang).

Yang melakukan 11 rakaat telah mengikuti sunah Nabi, seperti dijelaskan oleh Aisyah RA bahwa beliau tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat, baik pada Ramadhan maupun lainnya (HR al-Bukhari).

Yang melakukan 23 rakaat juga baik karena telah mengikuti sunah yang berlaku pada masa Umar dan kita juga diperintahkan oleh Nabi untuk mengikuti sunah al-khulafa al-rasyidun. Yang melakukan 39 atau 41 rakaat juga baik karena telah mengikuti kebiasaan al-salaf al-shalih di Madinah.

Tidak ada ketentuan yang pasti dari Nabi tentang bilangan rakaat Tarawih. Banyak sedikitnya bilangan bergantung pada panjang pendeknya bacaan.

Nabi melakukan 11 rakaat karena seperti diriwayatkan dalam beberapa hadis, dalam satu rakaat beliau biasa membaca surah al-Baqarah, Ali Imran, dan al-Nisa (sekitar lima juz).

Ubay bin Ka’ab ketika mengimami shalat Tarawih berjamaah tentu tidak mungkin mengikuti kebiasaan Nabi sebab akan sangat memberatkan banyak orang. Karena itu, dia menambah bilangan rakaat.

Mana yang lebih afdal? Semua itu berpulang kepada keadaan yang melakukannya. Kalau ada yang tahan shalat seperti Nabi maka tentu itu yang afdal.

Kalau tidak kuat berdiri lama dengan bacaan panjang, 23 rakaat dapat menjadi pilihan dan kalau ada yang melakukan 39 atau 41 rakaat juga boleh.

Tidak tepat bila dikatakan, Rasulullah telah menetapkan jumlah bilangan tertentu dalam Tarawih yang tidak boleh ditambah sebab itu hanya kebiasaan beliau yang tidak semua orang bisa melakukannya.

Semua itu baik untuk dilakukan. Yang tidak baik adalah jika yang melakukan 11 rakaat dan yang melakukan 23 rakaat berlomba-lomba siapa yang lebih cepat. Yang perlu diperhatikan adalah kekhusyukan dan thuma’ninah dalam melakukannya.

Qunut yang dibacakan saat witir adalah doa-doa yang baik untuk dibaca dan itu dilakukan oleh banyak ulama al-salaf al-shalih. Imam Syafi’i dan Ahmad melakukannya pada paruh kedua bulan Ramadhan.

Tidak ada larangan untuk melakukan itu. Adapun itu tidak dilakukan oleh Rasulullah, tidak berarti perbuatan itu menjadi terlarang untuk dilakukan umatnya, seperti kata banyak ulama. Wallahu a’lam bish shawab.

Dr Muchlis Hanafi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement