REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Friska Yolandha
Ia tak pernah berhenti berdoa agar diberi kesempatan untuk mendalami Islam ketika dewasa. Kini, doa itu terkabul.
Suatu hari, Julianne Scasny mengikuti kelas sejarah. Tema yang dipelajari hari itu tentang sejarah agama-agama besar di dunia. Di depan ruang kelas, sang guru tengah menjelaskan agama Islam. Saat guru itu tengah asyik bercerita tentang Islam, seorang teman Julianne protes.
Siswa yang berasal Mesir dan beragama Islam itu tak sependapat dengan penjelasan gurunya. Pelajar Muslim itu mengoreksi dan meluruskan informasi yang salah tentang Islam.
‘’Wow, dia berani sekali membantah guru,’’ ujar Julianne. Sejak terjadi perdebatan antara temannya yang Muslim dengan guru sejarah itulah, wanita kelahiran Michigan, Amerika Serikat (AS) tersebut mulai tertarik pada Islam.
Julianne sangat penasaran dengan Islam. Pada suatu hari, ia pun bertanya kepada temannya yang beragama Islam tentang perbedaan antara Katolik -- agama yang saat itu dianutnya -- dan Islam. Sayangnya, temannya itu tak banyak memberi penjelasan. Rasa ingin tahunya tentang Islam pun tak terpenuhi.
Ia tak menyerah. Untuk mencari tahu tentang Islam, Julianne pun mengunjungi rumah teman sekelasnya yang Muslim itu. Ia lalu meminjam Alquran dari orangtua temannya. Tentu saja, Alquran yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Hati Julianne bergetar saat membaca Alquran. Gadis pecinta sastra dan pemuja puisi itu sangat terpesona dengan bahasa kitab suci umat Islam yang amat indah. Ketertarikan pada keindahan bahasa Alquran mendorongnya untuk membaca seluruh ayat-ayat suci itu.
Dalam kalbunya terbesit sebuah keyakinan. ‘’Anda kitab ini ditulis dalam bahasa Inggris, sekalipun, penulisnya tak mungkin seorang manusia. Ini firman Tuhan,’’ ujar Julianne dalam hati.
Ia begitu yakin dengan kebenaran dari Alquran. ‘’Dan saya menjadi Muslim di dalam hati,’’ kata wanita pernah berkeinginan menjadi seorang biarawati itu.
Julianne pun mengucap dua kalimah syahadat. Ia bertekad menjadi seorang Muslimah, meski tantangan berat harus dihadapinya. Dalam hatinya telah tertanam sebuah keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling benar.
***
Julianne berasal dari keluarga keturunan Polandia-Suriah. Ia terlahir pada 25 April 1982. Ayahnya adalah seorang campuran Polandia dan Slovakia, sedang ibunya seorang Halab, Suriah yang lahir di Detroit. Julianne pun lahir sebagai Katolik di Detroit, Michigan.
Kedua orangtuanya murka begitu tahu bahwa Julianne telah memeluk Islam. Mereka tak bisa menerimanya, terutama sang ibu. Sebenarnya, ia amat berharap orangtuanya dapat menerima Islam sebagai agamanya, namun ternyata sebaliknya.
Ibunya berusaha melarangnya berteman dengan orang-orang Muslim. Sang ibu juga kerap menelepon orangtua temannya agar tak lagi mendakwahkan Islam kepada Julianne. Saat itu, ia begitu bingung. Namun, imannya tak goyah sedikitpun.
Setiap hari sang ayah membongkar kamarnya. Semua barang-barang bernuansa Islam yang ada di kamar Julianne seperti sajadah, hijab, dan Alquran disita ayahnya. Julianne terpaksa menyembunyikan Alquran di ventilasi pendingin udara agar tak dapat terjangkau ayahnya. Ia amat khawatir kedua orangtuanya akan membuang Alquran itu.
***
Berbagai upaya dilakukan kedua orangtuanya agar Julinanne melepas keyakinannya sebagai Muslim. Mereka berusaha mengajaknya ke gereja. Suatu hari ibunya berupaya mempertemukannya dengan seorang pendeta. Di hadapan pendeta, Juliane mengatakan amat cinta kepada Islam.
‘’Aku tak habis piker. Bagaimana sesuatu yang indah ini (Islam) dianggap buruk oleh orang-orang,’’ ucap Julianne. Pendeta tersebut mengatakan bahwa mimpi Julianne yang pergi ke negara Muslim sambil berhijab adalah perbuatan setan. "Saya tidak dapat melupakan wajahnya, ia terlihat seperti setan ketika ia mengatakan itu,’’ ujarnya menggebu-gebu.
Julianne juga mengisahkan bagaimana ibunya sering berbohong. Sang ibu kerap menghidangkan masakan yang terbuat dari babi, namun mengaku terbuat dari daging sapi. Sebagai seorang Muslimah, Julianne amat selektif dalam memilih makanan. Ia harus memastikan hidangan yang disantapnya halal.
Ia pun memeriksa pembungkus makanan yang dihidangkan ibunya. Ternyata dugaannya benar, masakan yang disajikan itu terbuat dari daging babi. Ayahnya pun pernah membuatnya memilih untuk tinggal di rumah sebagai seorang Katolik atau meninggalkan rumah.
‘’Shalat adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan di rumah, mereka mengolok-olok ketika saya shalat,’’ ujarnya. Sejujurnya Julianne mengaku sangat sakit hati diperlakukan seburuk itu. Keluarganya selalu menghina Islam, agama yang dianutnya.
Julianne mengaku mempelajari shalat dalam bahasa Arab secara otodidak melalui video dan buku-buku. Ia juga mulai menjelaskan tentang Islam kepada adik perempuannya. Mengatui hal itu, kedua orangtua Julianne mengancam akan mengusirnya dari rumah.
Julianne pun berhenti mengajarkan Islam kepada adiknya. Meski begitu, ia sempat mengatakan banyak hal kepada adiknya tentang Islam. Adiknya pun mulai tertarik dan bahkan mulai mempertanyakan sejumlah hal tentang Islam.
Berada di bawah tekanan dari kedua orangtuanya, Julianne pun mulai kesulitan untuk menunaikan shalat. Ia sempat berhenti melakukan shalat. Ia tak pernah berhenti berdoa di dalam hati agar diberi kesempatan untuk mendalami Islam ketika dewasa.
Tidak seorang pun mendukung keislamannya, kecuali orangtua teman-temannya yang meminta Julianne agar mendengarkan nasihat kedua orangtuanya. Teman-teman Muslimnya juga tidak benar-benar mengerti apa yang dialaminya. Barangkali, mereka sendiri belum benar-benar dewasa dan mengerti tentang Islam secara baik.
***
Ketika usianya menginjak 20 tahun dan sudah berstatus sebagai mahasiswi, doa Julianne yang ingin mendalami Islam terkabul. Ia mendapat kabar di sekitar lingkungannya dibangun sebuah masjid. Untuk memastikan kabar itu, ia menelepon wanita yang memberinya Alquran dan menanyakan tentang masjid yang baru dibangun di dekat rumahnya.
Sebelum berdiri rumah ibadah itu, masjid terdekat di daerahnya tinggal harus ditempuh selama 45 menit hingga satu jam perjalanan. Berdirinya masjid itu membuatnya amat bahagia. Julianne pun memutuskan untuk mengulang syahadatnya sebagai seorang Muslim, tepat pada bulan Ramadhan.
Ia pun berkomitmen akan mendalami Islam dan tidak lagi peduli dengan larangan kedua orangtuanya. ‘’Saya merasa seperti Nabi Yunus yang berada di perut ikan paus. Namun saya bertekad untuk keluar dari kebiasaan buruk itu,’’ kenangnya.
***
Julianne pun mulai memakai hijab, meski kedua orangtuanya melarang. Iman dalam hatinya sudah mantap. Islam adalah jalan hidupnya. Ia sudah tak lagi menghiraukan perintah kedua orangtuanya untuk meninggalkan Islam.
Agar bisa mengenakan jilbab, terkadang Julianne memakainnya di mobil. Ibunya sangat kecewa. ‘’Ia mengatakan aku seperti seorang wanita tua, ketika aku mengenakan hijabku. Ketika ia berusaha mengambil hijab itu dari kepalaku, aku memukulnya. Astaghirullah,’’ tuturnya.
Julianne benar-benar mengalami kehidupan yang berat pada saat itu. Sang ibu menilai dirinya telah membuat malu keluarga. Ibunya mengatakan tidak ingin melihat Julianne di kota tempatnya tinggal.
Ia akhirnya tinggal di rumah neneknya. Lagi-lagi Julianne mengalami kesulitan. Ketika sedang menunaikan shalat, sang nenek berteriak padanya, "Tidakkah kau mendengarku ketika aku berbicara denganmu?"
Mereka menertawakan dan mengolok-oloknya ketika membaca Alquran. Kakeknya, bahkan tidak mau lagi berbicara dengannya. Ibunya sempat membawa Julianne ke seorang psikoterapi. Ia pun diberi obat psikotik. Tentu saja ia tidak mau memakannya, justru membuangnya.
***
‘’Satu-satunya hal yang dapat ku lakukan agar keluar dari kesulitan ini adalah dengan menikah,’’ tuturnya. Julianne pun mengganti namanya menjadi Noora Alsamman. Pernikahannya pun dilalui dengan sejumlah hambatan.
Ia bertemu dengan seorang Muslim dari Damaskus, Suriah. Sang ibu tidak menyetujui pernikahannya dengan calon suaminya. Julianne memutuskan untuk menikah secara Islam. Hal inilah yang membuat ibunya tidak setuju. Selain itu, suaminya juga adalah seorang Muslim.
‘’Ibu ingin aku menikah dengan seorang Kristen dan melaksanakannya di gereja," tuturnya. Ia ingin melihat anaknya memakai gaun putih dan pernikahan tersebut disahkan di gereja.
Keteguhan hatinya pada Islam membuat pernikahan itu akhirnya berjalan dengan lancar, meskipun sang ibu terus berusaha membatalkannya. Sang ibu memaksa Julianne untuk berpacaran terlebih dahulu dengan suaminya agar mereka saling mengenal.
Setelah menikah, Julianne alias Noora pindah dari Atlanta ke Houston. Setahun kemudian mereka dikaruniai seorang putra bernama Yousuf. ‘’Alhamdulillah, saya berharap, insyaallah bisa pindah ke Madinah,’’ katanya.
Di akun facebooknya, Noora memadukan nama asli dengan nama Islamnya menjadi Julianne Noora Scasny Alsamman. Status-statusnya diisi dengan pesan-pesan keislaman dan rasa syukurnya menjadi seorang Muslimah.
‘’Kami bersyukur kepada Allah SWT untuk semuanya! Ya Allah, bantulah kami agar tetap bersyukur pada Ramadhan tahun ini. Terima kasih atas karunia dan rahmat Mu selama ini . Alhomdulileh wa shokerlileh,’’ tulisnya dalam status facebooknya. Kini, ia berkhidmat untuk Islam.