REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Twitter: [email protected]
Seorang teolog Susan K Smith menulis di Washington Post, apakah pernikahan itu adalah hak sipil atau kesakralan agama? Tanggapan pendeta senior ini pun agak riskan. Di tengah-tengah mayoritas tradisi dan doktrin gereja yang antinikah sejenis, peraih penghargaan Penulis Buku Terbaik pada 2009 itu mengatakan pernikahan itu adalah hak sipil. Tak ada campur tangan agama di sana sehingga siapa pun bebas menentukan pasangan menikah, tak terkecuali kekasih sejenis.
Bagi saya, Anda, atau siapa pun yang masih berpegang teguh pada tradisi, nilai, dan norma agama, tentu akan menegaskan bahwa pernikahan sangat sakral. Nikah adalah soal fitrah. Fitrah menjalin kasih sayang antara lelaki dan perempuan, beranak pinak, dan memperkokoh sendi keluarga. Dari keluarga inilah, lahir generasi-generasi andal untuk menopang sebuah negara. Namun, Susan tak sepakat. Pernikahan adalah bagaimana kedua pasangan saling berkomitmen menjalankan hidup. Soal jenis kelamin, bukan masalah.
Gelombang tuntutan legalisasi pernikahan sejenis mengundang kontroversi di banyak negara. Amerika Serikat belum lama ini mengesahkan undang-undang pernikahan sejenis. Beleid yang sama telah diberlakukan setidaknya oleh 14 negara Eropa, di antaranya Belanda, Belgia, Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Norwegia, Swedia, Portugal, Islandia, dan Prancis. Di kawasan Asia, regulasi yang sama belum populis.
Agama manapun sejatinya tak akan merestui penikahan tersebut, baik kalangan Yahudi maupun Nasrani. Keterlibatan negara dalam mengegolkan regulasi itu membuat tak sedikit institusi keagamaan di negara-negara pro nikah sejenis tersebut 'takluk'. Paradoks pun muncul, sementara doktrin gereja menolak keras.
Maka, bila Komnas HAM akan menggelar Sidang Paripurna tentang Pengesahan Status Hukum dan Eksistensi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) pada 3-4 Juli, selazimnya menimbang banyak hal, baik dari dampak sosial, budaya, tradisi, kelaziman, maupun faktor kemanusiaan. Seberapa jauh mudarat yang akan ditimbulkan dari pengakuan eksistensi mereka secara hukum. Bukan lantaran menuruti desakan minoritas, lantas mengalahkan kepentingan mayoritas. Apalagi, mengiyakan permintaan dan dorongan asing dengan liberalisme abstrak.
Hubungan sejenis akan merusak institusi pernikahan alamiah antarkaum Adam dan Hawa. Keluarga yang terdiri dari ayah laki-laki dan ibu perempuan adalah sistem utama dalam hukum alam. Anda, pasti tak ingin memiliki anak hasil adopsi pasangan sejenis Anda, ayah, padahal ia adalah perempuan. Atau memanggil ibu, sementara ia seorang lelaki tulen. Kenyataan pahit yang mesti diurai oleh anak dengan pemikiran natural mereka. Tak bisa terbayang.
Penelitian diungkapkan oleh Stanley Kurtz di sejumlah negara pengusung pernikahan sejenis. Tingkat kelahiran bayi di luar pernikahan meningkat tajam. Di Norwegia pada 1990-2000 meningkat dari hanya 39 persen total kelahiran, menjadi 50 persen. Di Swedia, melonjak dari 47 persen ke 50 persen. Dan, 60 persen bayi yang lahir di Denmark tidak memiliki orang tua. Pernikahan perlahan mati di Swedia, kata Kurtz.
Dampak yang tak kalah mengerikan, juga akan menyasar buah hati. Mereka akan tumbuh dan berkembang di lingkungan yang tak sehat. Kondisi ini mencetak karakter yang abnormal pula. Pada April 2001, jurnal American Sociological Review memublikasikan temuan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh pasangan gay atau lesbi berpotensi besar mengikuti jejak 'orang tua' mereka.
Keputusan apakah yang akan diambil oleh Komnas HAM? Jika hasil sidang memutuskan dan mengakui status hukum LGBT, para pendukung LGBT akan bersorak. Langkah berikutnya tak ayal adalah legalisasi pernikahan. Jika status buram mereka itu terang di mata hukum, mereka pun memiliki hak sama, seperti halnya manusia lainnya. Pilihan itu tentu berat bagi Komnas HAM. Mendukung minoritas, tapi dikucilkan oleh mayoritas atau malah hendak memantik konfrontasi.
Namun, pilihan berikutnya meski berat, jauh lebih kecil mudaratnya. Tak peduli apa kata Barat soal HAM. Konsepsi HAM yang selalu mereka khianati sendiri. Bias. Maka, tak perlu ragu untuk meratifikasi HAM sesuai budaya ketimuran. Abaikan intervensi luar. Karena, kita berdaulat dan bermartabat. Dan, semestinya HAM itu terhormat dan berselaras dengan kemanusiaan, tak akan pernah melawan fitrah.