REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Air hasil daur ulang dinyatakan halal bila proses serta mesin pendaur ulangannya sesuai dengan ketentuan fikihnya.
Di Indonesia, diskusi tentang halal atau tidakkah air daur ulang untuk dikonsumsi pernah mengemuka di internal Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada 2010, lembaga fatwa otoritatif di Tanah Air itu mengeluarkan keputusan tentang persoalan tersebut.
Pembahasan ini menyusul meningkatnya penggunaan air daur ulang oleh masyarakat. Fenomena ini seiring dengan kemajuan teknologi. Pada saat yang sama, kebutuhan akan air yang bersih dan higienis terus meroket selaras dengan melonjaknya populasi warga daerah tertentu. Terutama, kawasan perkotaan.
Agar definisi air daur ulang dalam fatwa tersebut jelas, Komisi Fatwa MUI memberikan definisi terkait air tersebut. Yang dimaksud dengan air kategori ini ialah air hasil olahan dengan rekayasa teknologi dan air yang telah digunakan, terkena najis, atau yang telah berubah salah satu sifatnya, yakni rasa, warna, dan bau, sehingga dapat dimanfaatkan kembali.
Ada banyak alternatif sistem dan cara pengolahan limbah. Salah satunya ialah metode lumpur aktif (activated sludge). Metode ini disebut-sebut sebagai opsi yang sering dipakai oleh berbagai otoritas negara. Biasanya, cara ini memang efektif untuk mengurai limbah yang berasal dari limbah cair organik. Misalnya, limbah yang berasal dari toilet, dapur rumah tangga, atau industri restoran. Semuanya itu diolah dalam proses Sewage Treatment Plant (STP). Prosesnya memang agak sedikit rumit.
Di STP tersebut, limbah diproses dengan melibatkan lumpur aktif yang tak lain adalah kumpulan bakteri. Bakteri tersebut memiliki fungsi untuk mengurai limbah menjadi gas dan lumpur tak aktif. Hasilnya, didapatilah air bersih. Namun, benarkah air yang telah dibersihkan itu aman dikonsumsi dari segi kehalalannya?
Komisi ini menetapkan air daur ulang boleh dikonsumsi dan dinyatakan suci sekaligus menyucikan. Dengan demikian, selain untuk diminum sehari-hari, air tersebut bisa juga digunakan untuk bersuci, mulai dari wudhu hingga mandi. Tetapi, ini dibatasi dengan sejumlah ketentuan, yaitu proses pendaur ulangan air tersebut mesti ditempuh dengan satu dari ketiga cara berikut.
Pertama, menguras air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut sehingga tersisa air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya. Cara yang demikian disebut dengan pembersihan total tharigat an-nazh.
Kedua, menambahkan air suci dan menyucikan pada air yang terkena najis atau yang berubah tersebut hingga mencapai volume paling kurang dua qullah. Ukuran ini, yakni jika volume air di sebuah wadah itu mencapai paling kurang 270 liter. Selain itu, unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang.
Ketiga, mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikkan sifat-sifat asli air itu menjadi suci lagi dan menyucikan. Dengan syarat, volume air lebih dari dua qullah dan alat bantu yang dipergunakan mesti suci.