REPUBLIKA.CO.ID, Rambutnya sudah menipis. Jenggotnya lebat dengan warna hitam yang diselingi dengan uban berwarna putih. Ia terlihat memakai kaos berwarna putih dan memegang kayu kecil sebagai pembatas Alquran.
Meski usia tak bisa lagi menutupi kondisi fisik tubuhnya, tapi tidak mempengaruhi sorotan matanya yang tajam. Haji Mohammad Thayub, 42 tahun, begitu ia memperkenalkan dirinya kepada Republika dan wartawan lainnya yang sedang mengunjungi Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar dalam acara Penyelenggaraan Publikasi Ditjen Imigrasi Kemenkumham 2013 di Bali beberapa waktu lalu.
Thayub merupakan salah satu imigran gelap asal Myanmar, tepatnya dari suku muslim Rohingya, yang ditampung di Rudenim Denpasar yang terletak di Jalan Raya Uluwatu Nomor 108, Jimbaran, Kuta Selatan, Bali.
"Saya lama tinggal di Malaysia, jadi bisa berbahasa Indonesia," kata Thayub dengan Bahasa Indonesia yang fasih.
Ia dan istrinya terpaksa harus keluar dari negara asalnya, Myanmar sejak 1988 lalu. Pasalnya Pemerintah junta militer Myanmar mulai memberlakukan kebijakan diskriminasi terhadap suku muslim Rohingya pada 1977.
Tindakan represif pemerintah Myanmar ini memaksa kaum Rohingya untuk mencari perlindungan ke Bangladesh, Thailand, dan Malaysia. Thayub memilih tinggal selama bertahun-tahun di Malaysia dengan harapan kehidupannya akan menjadi lebih baik karena tinggal di negara dengan mayoritas penduduknya muslim seperti dirinya. Namun, hingga ia sudah memiliki empat orang anak, kehidupannya pun tak kunjung membaik.
Lama tinggal di Malaysia, tahun lalu, Thayub mulai mencari sejumlah agen untuk mengantarkan ia dan keluarganya berlayar secara ilegal memasuki Australia. Ia menemukan agen tersebut dan meminta bayaran sebesar 10 ribu Ringgit Malaysia atau sekitar Rp 30 juta per orang.
Uang yang diminta agen tersebut sudah dibayarkan. Waktu pemberangkatan juga sudah ditentukan. Hingga kemudian berlayar menuju Australia, namun belum sampai perbatasan antara Indonesia dan Australia di Samudera Hindia, sang nakhoda melarikan diri.
"Saya sedang menunggu proses dari UNHCR (Badan PBB untuk masalah pengungsian). Saya berharap dapat tinggal di Australia. Keluarga di sana sudah bisa bekerja dan mendapat kewarganegaraan," ucapnya sambil menggendong anak kelimanya yang berusia satu bulan dua hari.