REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ina Salma Febriana
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”(Qs Qaaf: 16-18)
Sebagai sumber pedoman hidup manusia, Al-Quran tidak hanya mengajarkan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah untuk bekal manusia kelak di yaumil Qiyamah. Lebih dari itu, Al-Quran ‘ juga berperan sebagai basyiiran wa nadziiran—pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Sebagai pembawa kabar gembira, Allah akan membalas semua perbuatan manusia dengan sebaik-baiknya balasan. Dan bagi yang gemar melakukan dosa, Allah pun akan memberikan balasan yang setimpal dengan perbuatannya.
Surah di atas cukuplah menjadikan ‘warning’ atau nadziiran untuk kita semua dalam berperilaku. Allah melekatkan Zat dan para malaikatNya lebih dekat dari urat leher kita. Artinya bahwa Dia mengetahui yang nampak dan tersembunyi baik ucapan, tindakan, ataupun yang hanya kita niatkan dalam hati.
Bukan tanpa alasan Allah mengutus dua malaikat di sisi kanan dan kiri kita melainkan sebagai ‘pelapor’ terpercaya di depan pengadilan Allah Swt kelak, agar tidak ada yang ‘berdebat’ di hadapanNya. Perdebatan yang dimaksud ialah antara setan dan manusia, saat Allah sudah memberikan keputusan untuk melempar semua manusia pendosa ke dalam neraka, “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala. Yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu. Yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sanga,t” (Qs Qaaf: 24-26)
Keputusan Allah tersebut tidak menjadikan iblis penggoda manusia selama di dunia diam. Ia pun kelak berkata pada Allah, “Yang menyertai dia (setan) berkata, ‘Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh’. Allah berfirman, ‘Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu,”. (Qaaf: 27-28)
Pada akhirnya, surga memang hanya diperuntukkan orang-orang yang awwab dan hafidz. Awwab berarti pandai bertobat dan hafidz secara etimologi berarti menjaga. “Dan didekatkanlah syurga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya).
Terminology Allah Swt perihal Awwab dan Hafidz ini dijawab pada ayat selanjutnya, (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat,” (Qs Qaaf: 33)
Begitu sistematisnya Allah memaparkan ayat ini, untuk menyentuh hati-hati yang haus akan tuntunanNya.
Awwab dan Hafidz menjadi sebuah ‘peringatan’, bahwa Allah hanya menganugerahkan surga bagi hambaNya yang takut, bahkan saat tidak dilihat satu manusiapun. Setidaknya, ada sebuah pelajaran bahwa saat kita hanya takut pada Allah dalam kondisi apapun, maka ketakutan itulah yang menyetir segala perbuatan kita. Maka, akan seperti apa perbuatan kita kalau ketakutan pada Allah telah hilang?
Advertisement