REPUBLIKA.CO.ID, TUNCELI -- Tragedi genosida yang masih menjadi perdebatan antara Turki, Armenia dan komunitas internasional coba dilupakan generasi kedua Muslim Armenia. Mereka belajar berpikir lebih realistis.
"Kami mencoba untuk memperkenalkan diri sebagai Muslim Armenia. Rasanya tidak adil ketika anda hidup dengan identitas dan iman orang lain," ungkap Miran Pirgnic Gultekin, Presiden Asosiasi Dersim Armenia, seperti dikutip alarabiya.net, Kamis (25/4).
Seperti halnya sebagian Muslim Armenia lain, Miran menetap di Turki. Ia merupakan generasi kedua warga Armenia yang menetap di Turki. Ia ubah namanya menjadi nama Turki. Itu dilakukan lantaran tidak mudah mengungkapkan identitas Armenia selama perdebatan genosida.
Sepanjang hidupnya, Miran dan Muslim Armenia lainnya selalu dihantui kebencian orang tua mereka terhadap Turki. Kondisi itu menjadi beban tersendiri bagi mereka.
Tahire Aslanpencesi, salah seorang Muslim Armenia mengaku terbebani dengan warisan tersebut. Pasalnya, kendati ia seorang Muslim, mereka menghadapi perlakuan yang tidak adil. Seperti misal, tanah yang mereka miliki disita. Mereka juga kerap dipermalukan dengan razia "sunat" ketika memasuki militer.
Mustafa Bedros, Muslim Armenia lainnya, mengaku tidak merasa khawatir dengan nama belakangnya. "Nama belakang saya ini mengingatkan pada masa lalu. Tapi saya ingin terus melanjutkan hidup, tentunya saya tidak menyangkal asal-usul saya," kata dia.
Semasa kekuasaan Ustmani, Armenia merupakan bagian integral Istanbul. Namun, lepas perang dunia I, Armenia menyatakan kemerdekaan. Pada masa itu, terjadi genosida yang hingga kini masih menjadi perdebatan.