Kamis 28 Feb 2013 17:34 WIB

Stigma Wahhabi

Shalat berjamaah (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Shalat berjamaah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum wr. wb,

Fenomena labelisasi Wahhabi tampaknya sudah terlalu berlebihan. Setiap ada gerakan yang berusaha konsisten di atas sunnah Rasulullah saw, semua dianggap wahhabi, atau jika ada yang berjanggut panjang disebut wahhabi.

Masjid yang tidak qunut waktu subuh disebut wahhabi, jika tidak ikut maulid dan tahlilan disebut wahhabi. Jika ada yang berjubah di atas mata kaki disebut wahhabi, jika ada lembaga yang mengajak kepada aqidah dengan pendekatan kitab dan sunnah semata dianggap wahhabi.

Saya menangkap adanya politisasi dan generalisasi wahhabi. Bagaimana seharusnya saya menyikapi hal ini ustaz?

Waskito - Solo

Wa’alaikumsalam wr. wb,

Terminologi ‘wahhabi’ dinisbatkan kepada seorang tokoh ulama dari tanah Arab yang bernama lengkap Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi, dari Saudi Arabia. Kata wahhabi adalah nama belakang atau nama orang tua beliau, nama beliau sendiri adalah Muhammad.

Generalisasi label Wahhabi yang berkonotasi ‘negatif’ telah berlangsung lama, hal ini disebabkan oleh gerakan dakwah beliau yang didukung oleh Raja Abdul Aziz penguasa dari Dir’iyyah yang tidak diterima di hati sebagian ummat Islam pada  masa itu.

Sikap dakwah yang tidak dapat menolerir sedikitpun pada berbagai bentuk syirik, tahayul,  bid’ah dan khurafat yang menjangkiti umat Islam di sekitar jazirah Arab pada waktu itu.

Gejala generalisasi label Wahhabi sudah lama dijadikan alat untuk menyudutkan orang yang tidak sependapat dalam pemahaman dan metode dakwah, bahkan digunakan pula untuk kepentingan politik sesaat.

Hal ini terekam pada tulisan Buya Hamka dalam bukunya 'Dari Perbendaharaan Lama'. Beliau mengatakan, “Seketika terjadi Pemilihan Umum , orang telah menyebut-nyebut kembali yang baru lalu, untuk alat kampanye, nama “Wahhabi.”

Ada yang mengatakan Masyumi adalah Wahhabi, sebab itu jangan pilih orang Masyumi. Pihak komunis pernah turut-turut pula menyebut-nyebut Wahhabi dan mengatakan bahwa Wahhabi itu dahulu telah datang ke Sumatera.

Dan orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah dari keturunan kaum Wahhabi.''

Akar permasalahan  kebencian pada Wahhabi di Indonesia lebih kapada soal metode dakwah kelompok ini yang cenderung mudah menuduh kelompok islam lain telah melakukan bid’ah atau bahkan menyatakan mereka sesat dan kafir.

Sebagian ulama memaklumi cara dan metode yang mereka lakukan karena memang jazirah Arab pada masa itu tenggelam dalam berbagai macam bentuk kesyirikan, khurafat dan tahayul sehingga memerlukan ketegasan.

Sedangkan sebagian ulama  lain tidak setuju dengan cara yang mereka lakukan karena dakwah Islam seharusnya dilakukan dengan pendekatan hikmah dan mau’izhah hasanah (peringatan atau nasehat yang baik).

Adapun, dari aspek substansi dan materi dakwah gerakan wahhabi ini, ulama tidak mempermasalahkannya.

Substansi ajaran gerakan wahhabi adalah pemurnian tauhid kepada Allah SWT dari berbagai bentuk kesyirikan berdasarkan Qur’an dan Sunnah Shahihah serta mencontoh amaliah dan atsar para sahabat Nabi saw dan para pendahulu yang shalih (salafush shalih).

Sedangkan materi pokok ajaran Wahhabi terangkum dalam tiga pondasi  utama (al-ushul al-tsalatsah) yaitu;  mengenal Allah (ma'rifatullah), mengenal Rasulullah (ma’rifaturrasul), dan mengenal Alislam (ma’rifatu diinil Islam).

Stigma negatif yang dilekatkan kepada gerakan Wahhabi sudah lama dijadikan isu yang pada akhirnya merugikan ummat Islam sendiri.

Buya mengatakan, “Sekarang 'Wahhabi' dijadikan alat kembali oleh beberapa golongan tertentu untuk menekan semangat kesadaran Islam yang bukan surut ke belakang di Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar.'''

Buya melanjutkan, ''Kebanyakan orang Islam yang tidak tahu di waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran wahhabi, melainkan nama Wahhabi.''

Selanjutnya, Buya menjelaskan, “Sekarang pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut 'Wahhabi' dan membusuk-busukkannya ini akan disimpan dahulu untuk pemilihan umum yang akan datang.

Dan mungkin juga propaganda ini masuk ke dalam hati orang, sehingga gambar-gambar 'Figur Nasional' sebagai Tuanku Imam Bonjol dan K.H.A. Dahlan diturunkan dari dinding.

Mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata kemasukan faham Wahhabi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain diminta supaya dibubarkan saja.

Isu Wahhabi juga digunakan untuk mengadu domba antara umat Islam sendiri. Buya Hamka menjelaskan hal itu.

''Memang, di zaman Jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudian adalah sebagai penanam pertama dari jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.”

“Tahukah tuan tatkala Pangeran Dipenogero, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi?''

''Tahukah tuan, setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban Ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai 'Amir' Islam di Minangkabau?''

''Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan di sana beliau berkubur buat selama-lamanya?”

''Tentu kita berharap kepada saudara-saudara kita seiman yang mengikuti paham ini dapat menyesuaikan cara dan metode dakwah mereka yang seharusnya bersifat ramah dengan kultur dan watak kepribadian bangsa ini sehingga bisa diterima oleh masyarakat.''

''Dan tidak mudah mengatakan kelompok lain di luar mereka sebagai ahli bid’ah atau bahkan sesat yang akan menyebabkan perselisihan dan perpecahan di tengah umat pada saat umat seharusnya bersatu menghadapi segala tantangan dari musuh-musuhnya.''

 

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat [49]:10).

Dan Rasulullah SAW. juga telah menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan seorang muslim dengan saudara muslim yang lain dalam banyak haditsnya.

Dari al-Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda: “Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan dan kasih sayang antar mereka adalah bagaikan satu jasad, apabila satu anggota tubuh sakit maka seluruh badan akan susah tidur dan terasa panas. (HR. Muslim). Wallahu a’lam bish shawab.

Ustaz Bachtiar Nasir

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement