Jumat 08 Feb 2013 14:04 WIB

Muslimah Berobat dengan Khamar, Bolehkah?

Muslimah/ilustrasi
Foto: flickr.com
Muslimah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah

Pada dasarnya, konsumsi khamar, menurut Islam, tidak di perbolehkan. Baik yang di pergunakan untuk tujuan medis maupun nonmedis. Baik khamar yang berasal dari anggur maupun bahan da sar lainnya yang dimasak ataupun tidak.

Pengharaman khamar tersebut karena mengonsumsi khamar termasuk barang yang najis dan merupakan perbuatan setan. Ini seperti yang tertuang dalam ayat berikut, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah [5]:90).

Tetapi, Dr Ismail Marhaba dalam disertasinya yang berjudul al-Bunuk ath- Thibbiyyah al-Basyariyah wa Ahkamuha al-Fiqhiyyah mengatakan, ketika kondisi tertentu, adakalanya menuntut seseorang bersinggungan langsung dengan khamar untuk kepentingan pengobatan.

Entah dikonsumsi secara oral ataupun sekadar dioleskan di kulit atau bagian luar tubuh lainnya. Bagaimana bila seorang Muslimah harus berhadapan dengan satu pilihan yang harus memaksanya memakai khamar sebagai obat?

Ia mengatakan, para ulama berbeda pendapat terkait hukum penggunaan khamar untuk berobat. Mayoritas ulama mazhab menyatakan, haram hukumnya memakai khamar guna keperluan medis. Pendapat ini disuarakan oleh para ahli fikih dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, salah satu opsi pendapat yang kuat dari Syafii, dan pendapat ulama mazhab Hanbali.

Sedangkan, opsi pandangan yang kedua menyatakan, pemakaian khamar untuk kepentingan pengobatan diperbolehkan. Ini merupakan pandangan salah satu opsi dari mazhab Hanafi, riwayat lain dari mazhab Syafii, dan bagian pendapat dari mazhab Maliki.

Meski memperbolehkan, kelompok ini memberlakukan beberapa syarat, yaitu objek penyakit yang ditangani ialah bagian luar tubuh, adanya prediksi yang kuat bahwa penyakit akan sembuh lewat konsumsi khamar, tidak ditemukannya alternatif obat selain khamar, dan sebagai syarat terakhir, kadar khamar digunakan secukupnya, tidak berlebihan dan menyebabkan hilang kesadaran.

Selain surah al-Maidah ayat 90, kelompok yang pertama menggunakan sejumlah dalil, antara lain, hadis riwayat Muslim dari Thariq bin Suwaid. Sahabat tersebut pernah bertanya kepada Rasulullah SAW perihal khamar, lalu Nabi melarang atau mencegahnya memproduksi khamar. Thariq berdalih, khamar yang ia produksi untuk kepentingan pengobatan. “Khamar bukan obat, melainkan penyakit,” titah Rasul.

Riwayat lain dari Imam Ahmad dan al-Baihaqi menuturkan sebuah hadis mengenai Ummu Salamah yang memiliki perasan anggur yang telah menjadi khamar. Khamar itu hendak ia gunakan untuk mengobati putrinya. Rasulullah menegur, Allah SWT tidak akan memberi kesembuhan dari media yang diharamkan.

Sedangkan, kelompok yang kedua mengutarakan sederetan dalil, antara lain, surah al-An’am ayat 119. Ayat itu menegaskan, penggunaan media haram untuk tujuan medis diperbolehkan selama dalam kondisi darurat.

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Padahal, sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”

Dalil lain yang mereka gunakan sebagai dasar argumentasi pendapat ialah hadis riwayat Bukhari. Hadis itu mengisahkan bahwa pada suatu ketika Rasulullah pernah menyarankan agar para rombongan yang datang dari Arinah, salah satu blok di Desa Bajilah, jika mereka berkenan, agar meminum susu ataupun air kencing unta. Kubu ini juga mempergunakan kaidah fikih yang berbunyi: “Menghindari dua kerusakan daf’u a’dham al mafsadatain.” Artinya, jika dua kerusakan berkumpul, kedepankan mudarat yang kadarnya lebih kecil.

Pendapat Mazhab

Boleh dengan syarat:

Salah satu opsi dari mazhab Ha nafi, riwayat lain dari mazhab Syafii, dan bagian pendapat dari mazhab Maliki

Tidak boleh:

Mazhab Hanafi, Maliki, salah sa tu opsi pendapat yang kuat dari Syafii, dan pendapat ulama mazhab Hanbali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement