Senin 28 Jan 2013 13:16 WIB

Wahai Suami, Berikan Hak Istri (2)

Rep: Ferry Kisihandi/ Red: Endah Hapsari
Pernikahan (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Pernikahan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Anjuran istri untuk mengambil nafkah yang mencukupi untuk dirinya dan anaknya menurut cara yang makruf, tak terbatas pada makanan dan minuman, tetapi juga semua kebutuhan. Ukurannya tentu berbeda-beda sesuai dengan kondisi sang istri dan di mana mereka tinggal.

Dengan demikian, seorang perempuan kaya yang menjadi istri laki-laki kaya berhak memperoleh nafkah berupa makanan yang paling baik mutunya sesuai kebiasaan yang berlaku di tempat mereka tinggal. Perempuan fakir yang menjadi istri laki-laki fakir diberi nafkah sesuai kondisi suami. Demikian pula, dengan yang berekonomi sedang.

Dalam hal pakaian, contohnya, perempuan kaya yang bersuamikan orang kaya berhak atas pakaian berkualitas tinggi. Jika istri tak dapat menjalankan tugasnya sendiri karena pekerjaan atau statusnya, ia berhak meminta pembantu. Al-Qaradhawi mengatakan, menyediakan pembantu untuk istri masuk dalam kategori menggaulinya dengan makruf.

Menurut mazhab Syafii, tidak wajib memberi nafkah untuk mengupah orang untuk membantu pekerjaan rumah tangga, membeli obat-obatan, dan untuk membayar ongkos dokter. Alasannya adalah untuk memelihara badan sebagaimana tidak wajib bagi penyewa untuk memberikan upah perbaikan rumah yang disewanya.

Golongan lain berbeda pandangan dengan mereka. Yang logis, jelas mereka, obat itu adalah untuk memelihara nyawa sehingga ia serupa dengan nafkah. Al-Qaradhawi menyatakan dukungannya pada pandangan ini karena nafkah itu adalah apa yang mencukupi kebutuhan bagi si istri.

Dia memaparkan pula perkataan Rasulullah terhadap Hindun yang me ngadukan kekikiran suaminya Abu Sufyan, “Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu menurut cara yang makruf,’’ dapat dijadikan pegangan bagi seorang istri yang kebetulan hidup dengan suami yang kikir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement