REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Afriza Hanifa
Lupa sudah rasa lapar tadi, keduanya pun kembali ke arah semula tempat mereka beristirahat. Sampailah mereka pada tempat yang mereka tuju dan bertemu sosok pria yang wajahnya tertutup sebagian oleh kudung. Sikapnya tegas menunjukkan kesalehannya. Pria itulah Khidir. “Bolehkah aku mengikutimu agar kau bisa mengajarkanku sebagian ilmu di antara ilmu-ilmu yang kau miliki?” ujar Musa kepada Khidir.
Apa jawab Khidir kepada Musa? “Sungguh kau tak akan sanggup untuk sabar jika bersamaku. Bagimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang itu,” kata Khidir.
Bukan Musa kalau langsung patah semangat dengan penolakan halus itu. “Insya Allah, kau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar. Aku tak akan menentangmu dalam urusan apa pun,'” ujarnya. Mendengar ketekadan hati Musa, Khidir pun akhirnya mengizinkan Musa mengikutinya. Tapi, dengan syarat, “Jika kau mengikutiku, jangan menanyakan suatu apa pun padaku sampai aku yang menerangkannya padamu,” kata Khidir.
Musa girang dapat mengikuti Khidir. Artinya, ia dapat menuntut ilmu dari Khidir. Pergilah Khidir dan Musa menumpang sebuah perahu. Tapi, ketika perahu itu hampir mendarat, Khidir melubangi perahu tersebut. Musa kaget, ia pun berkata, “Mengapa kau lubangi perahu ini. Kau akan membuat penumpang tenggelam. Kau telah melakukan sebuah kesalahan besar.”
Khidir hanya menjawab, “Bukankah aku telah berkata bahwa kau tak akan sabar bersamaku.” Musa pun teringat janjinya tak akan menanyakan apa pun. Ia pun menyesali ucapannya. “Jangan hukum aku atas lupaku dan jangan bebani aku dengan kesulitan urusan,” kata Musa.
Keduanya pun melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak. Mengagetkan, Khidir kemudian membunuhnya. Musa yang sifatnya spontan langsung bereaksi. “Mengapa kau bunuh jiwa yang bersih? Dia tak membunuh orang lain. Sungguh, kau melakukan suatu yang mungkar,” protes Musa.
Lagi-lagi, Khidir hanya menjawab, “Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa kau sungguh tak akan sabar bersamaku?” Musa pun kembali teringat janjinya. Dia pun memendam rasa amarah sekaligus herannya atas kelakuan Khidir. “Jika setelah ini aku bertanya kembali padamu, jangan kau izinkan aku lagi mengikutimu. Sungguh, kau cukup memberiku uzur,” kata Musa.
Perjalanan keduanya dilanjutkan. Tibalah mereka di sebuah negeri. Tapi, tak ada satu pun penduduk negeri yang berkenan menjamu mereka. Lagi, Khidir melakukan perbuatan yang tak masuk akal bagi Musa. Kali ini khidir tidak melakukan perbuatan mungkar di negeri tersebut, ia justru memperbaiki dinding sebuah rumah yang hampir roboh. “Jika kau mau, kau dapat mengambil upah karena telah memperbaiki itu,” ujar Musa.
Lupa sudah Musa akan tekadnya untuk diam tak mengomentari ulah Khidir. Sesuai ucapan Musa, ia pun tak lagi mendapat pengecualian. Sudah tiga kali Musa mempertanyakan sikap Khidir. “Inilah perpisahanku denganmu,” kata Khidir. (bersambung)