Rabu 02 Jan 2013 20:10 WIB

KH Ahmad Asrori, Ulama Tasawuf nan Tawadhu (3)

Rep: Amri Amrullah/ Red: Chairul Akhmad
KH Ahmad Asrori Al Ishaqi (tengah).
Foto: myopera.com
KH Ahmad Asrori Al Ishaqi (tengah).

Merintis Pesantren

Setelah memegang posisi mursyid dan melanjutkan aktivitas pengajian di kediaman sang ayah di Jatipurwo, Surabaya, Kiai Asrori awalnya hanya menerima beberapa anak yang dititipkan jamaah pengajian tarekat untuk belajar agama.

Lambat laun, semakin banyak jamaah yang menitipkan anaknya untuk belajar.

Kiai Asrori kemudian berinisiatif memindahkan aktivitas tarekatnya ke Kedinding Lor pada 1985. Di tempat ini, ia memiliki sepetak lahan yang di atasnya kemudian dibangun ponpes.

Seiring bergulirnya waktu, Ponpes Al Fithrah pun terus berkembang dan kini telah menempati lahan seluas tiga hektare. Tentu saja, pembangunan dan perluasan ponpes ini dilakukan secara bertahap, baik dengan dana pribadi maupun sumbangan dari para santri.

Dengan jumlah santri lebih dari 3.000 orang, Ponpes Al Fithrah kini mengelola semua jenjang pendidikan, mulai dari TK, Madrasah Ibtidaiyah, Aliyah Muadalah, Ma'had Aly, Taman Pendidikan Alquran (TPQ), hingga Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fithrah.

Selain untuk sarana pendidikan, ponpes ini sering kali digunakan sebagai tempat untuk menggelar acara besar tarekat, seperti haul akbar yang dihadiri ribuan pengikut tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.

Beberapa politisi kondang negeri ini juga pernah berkunjung ke ponpes ini. Namun, hal itu tak lantas membuat Kiai Asrori jemawa lalu terseret ke politik praktis.

Di kalangan orang-orang terdekatnya, Kiai Asrori dikenal sebagai sosok yang tak haus publikasi. Ia pun sangat jarang marah. Seperti pernah dikatakan sang istri, Nyai Mutia, bahwa suaminya adalah sosok yang sangat menghormati orang lain.

Hal itulah yang membuatnya sangat jarang marah, termasuk kepada dirinya. "Kami pun murid dan pengurus pondok sangat jarang beliau marahi," kata Wisjnu.

Namun, pada 18 Agustus 2009, tepat sehari setelah perayaan kemerdekaan RI, ulama yang sarat ilmu dan teladan ini harus pergi untuk selamanya meninggalkan keluarga, santri, dan para pengikut tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.

Ia wafat karena kondisi kesehatannya yang terus menurun. ''Menjelang wafat, Kiai bahkan tidak mau merepotkan santri dan pengurus pondok. Hingga hanya keluarga yang mengurusnya," ungkap Wisjnu.

Ribuan pelayat menghadiri prosesi pemakamannya, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat Jawa Timur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement