Senin 26 Nov 2012 23:33 WIB

Muhamadiyah, Bersiap Menuju Abad Kedua (1)

Rep: Fitria Andayani/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Warga Muhammadiyah tak akan lari dari tantangan dan masalah zaman.

Seabad sudah Muhammadiyah mengabdi di Tanah Air. Selanjutnya, organisasi ini akan terus menjadi bagian dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.

Namun, untuk terus bertahan, Muhammadiyah harus mampu mengatasi segala tantangan yang mungkin dihadapi pada kemudian hari.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menyatakan organisasi ini telah menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan pada abad kedua. “Abad kedua harus lebih baik dari abad pertama,” ujarnya.

Warga Muhammadiyah, sebut Din, tidak akan lari dari tantangan serta masalah zaman. Semua bakal dihadapi dengan konsep keyakinan diri. “Kami sangat percaya diri bahwa Muhammadiyah tidak hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia, rahmatan lil alamin,” tegas Din.

Dalam batas-batas kemampuan organisasi, Din juga meletakkan konsep kepercayaan diri pada lingkaran terdekat. Bahwa untuk Indonesia, Muhammadiyah tidak lagi hanya berkutat pada gerakan strategis pengembangan kebudayaan masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, sosial, maupun ekonomi.

Saat ini, kata Din, Muhammadiyah juga sedang menyisir korban-korban dari proses pembangunan, yakni kelompok-kelompok marginal, buruh, petani, nelayan, hingga kaum papa.

Maka, sejak dua periode kepemimpinannya, ada Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) yang secara khusus mengembalikan ideologi Muhammadiyah dengan teologi al-Ma’un. “Dan, ini sudah berlangsung dengan baik,” ujarnya.

Sementara, Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyatakan sejumlah tantangan pasti akan dihadapi Muhammadiyah. Era globalisasi telah membawa paham neoliberalisme. Bagi Muhammadiyah, hal ini berdampak luas, yakni nantinya perlu ada daya saing dalam era yang liberal serta berorientasi pasar.

“Nah, Muhammadiyah dengan berbagai macam amal usahanya tidak dimaksudkan untuk proses pasar yang arahnya seperti perusahaan multinasional. Namun, kita tetap harus punya kekuatan kompetitif dan tetap memegang karakter dakwah ketimbang bisnis,” paparnya.

Tantangan lainnya terkait kosmopolitan nilai Islam. Saat ini, Islam telah menjadi agama yang universal. “Kita perlu cari cara untuk memperlihatkan Islam sebagai agama yang kosmopolit, adil, dan damai,” kata Haedar.

Tentu, hal itu bukan hal mudah, apalagi di tengah politik global yang masih berideologi lama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement