REPUBLIKA.CO.ID, Negara bertanggung jawab atas seruan boikot produk-produk Israel.
Zionis Israel tak henti-hentinya menindas rakyat Palestina. Gerakan perlawanan terhadap kezaliman tersebut juga terus digencarkan, baik yang bersifat kontak fisik maupun tindakan lain yang memiliki unsur ‘jihad’.
Salah satunya ialah boikot produk-produk yang dikeluarkan oleh negara Zionis tersebut. Boikot tersebut pada dasarnya tak hanya dialamatkan pada Israel, tetapi dianggap pula patut diterapkan bagi pihak mana pun yang memusuhi Islam.
Di level internasional, aksi boikot ini telah berlangsung sejak 1945. Liga Arab ketika itu telah mengeluarkan rekomendasi dan keputusan pentingnya boikot produk-produk Zionis Israel.
Secara struktural, organisasi yang kini digawangi oleh Nabil al- Arabi tersebut, pada 1951, membentuk departemen khusus yang menangani program untuk boikot ekonomi dan produk Israel.
Isu ini pun menjadi perbincangan hangat di kalangan ulama. Pada prinsipnya, mereka setuju dan sepakat menggunakan boikot sebagai upaya dan bentuk jihad melawan penindasan Israel, misalnya.
Namun, mereka berselisih pandang soal kriteria dan syarat boikot serta sejauhmana efektivitas aksi itu?
Menurut pendapat kelompok pertama, agar efektif, boikot tersebut tidak perlu dibatasi. Biarkan saja bersifat mutlak. Apa pun bentuk dan dampaknya kelak. Besar atau kecil efek yang ditimbulkan dari boikot tidak perlu dipersoalkan.
Hal ini mengingat keberadaan nilai positif dari boikot tersebut, yaitu pembelajaran bagi individu dan masyarakat. Manfaat ini jauh lebih akan dirasakan efeknya di kemudian hari, termasuk keuntungan materi, yang mungkin secara kuantitas belum bisa signifikan.
Pandangan ini disampaikan masing-masing oleh Ketua Asosiasi Ulama se-Dunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi; wakil Dewan Fatwa dan Kajian Eropa, Syekh Faishal Maulawi; dan Guru Besar Syariah Islam Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, Prof Husein Syahatah.