REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng sejak 16 Rabiul Awal 1324 H, bertepatan dengan 6 Februari 1899.
Tebuireng dulunya dikenal sebagai kawasan hitam karena merupakan sarang perampok, perjudian, pencurian, pelacuran, dan lainnya.
Kehadiran Hasyim Asy’arie dan para santri bagaikan angin segar, secara bertahap mampu mengubah pola kehidupan masya rakat di sekitar Tebu ireng.
Bahkan, kini Tebuireng menjadi salah satu sentral dakwah Islam di Indonesia yang terkenal keberbagai mancanegara. Ketenaran Tebuireng tidak lepas dari peran besar pendirinya, Hasyim Asy’arie, yang juga penggagas dan rais syuriah pertama Nahdlatul Ulama.
Sistem pengajaran
Sistem pengajaran di Pondok Pesantren Tebuireng mengalami beberapa kali perubahan. Awalnya, menggunakan metode sorogan (santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan guru) serta metode weton atau bandongan atau halqah, yaitu kiai membaca kitab dan santri memberi makna.
Semua bentuk pengajaran tersebut tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam dikaji. Materi pelajarannya pun khusus tentang pengetahuan agama Islam, ilmu syariat, dan bahasa Arab.
Perubahan sistem pendidikan di pesantren pertama kali dilakukan pada 1919 menerapkan sistem madrasi dengan mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Sistem pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua tingkat, yakni shifir awal dan shifir tsani.
Pada 1929 terjadi pembaruan revolusioner memasukkan pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran. Perubahan ini menimbulkan reaksi para wali santri serta protes para ulama dari pesantren lain.