Rabu 07 Nov 2012 07:02 WIB

Lynette Wehner: Jadi Muslim di Sekolah Islam

Rep: Agung Sasongko/ Red: Dewi Mardiani
Jilbab. Ilustrasi
Foto: .
Jilbab. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Lynette Wehner tak menyangka, ia diterima bekerja di sekolah Islam. Cemas bercampur antusias itulah gambaran perasaannya saat itu. Tak hanya ia seorang, keluarganya juga dilema dengan kabar gembira itu.

Spontan saja, orang tuanya mengingatkan satu hal kepadanya ketika Lynette memutuskan untuk menerima pekerjaan itu. "Pastikan anda tidak berpindah agama," kenang Lynette menirukan suara ayahnya.

Dalam pikirannya terbayang, ia bakal diwajibkan mengenakan jilbab. Ia juga harus mempelajari agama Islam, satu hal yang asing baginya. "Jujur, aku berdebat dengan diriku sendiri. Tapi bagian dari diriku mengatakan itu adalah pengalaman yang berharga bagiku," kenang dia.

Akhirnya, Lynette menerima pekerjaan itu dan bersiap menjalani hari pertama. Satu hari yang akan terkenang sepanjang ia bekerja di tempat itu. Pada hari pertama, setiap guru non-muslim akan diberikan pelatihan mengenakan jilbab. Setiap guru non-muslim yang ambil bagian umumnya tertawa melihat penampilan mereka. Tidak ada rasa tegang seperti yang dibayangkan sebelumnya. Suasana saat itu begitu mengalir dan santai.

Dari situ, Lynette melihat ada satu pelajaran penting, yakni masyarakat AS terjebak kesalahpahaman soal jilbab. Tak terasa, sudah satu tahun Lynette bekerja. Ia belajar banyak hal. Yang membuatnya terkesan, sebagian besar anak didiknya tahu banyak tentang agama Kristen.

"Aneh, bagaimana mereka tahu banyak? Mereka membuatku bertanya-tanya. Apakah memang saya seorang Kristen," kenang dia. Ia memang dibesarkan dalam tradisi Katolik. Tapi ia tidak mempelajari ajaran Kristen dengan baik. "Aku tahu, aku bukan orang yang baik," kata dia.

Meninggalkan sejenak kegundahannya, Lynette kembali menjalani aktivitas rutin. Seperti biasa, ia rapikan buku-buku anak-anak yang tergeletak dalam kelas. Sebelum merapikan buku itu, sejenak ia baca buku-buku tersebut. Ia menyadari isi dari buku tersebut begitu masuk akal. Banyak pertanyaan dalam dirinya terjawab. Ia menjadi begitu antusias membahas tentang ajaran Islam.

"Saya merasa telah menemukan apa yang saya cari," ungkapnya, seperti dilansir islamreligion.com. Ia mulai membaca Alquran. Usai membacanya, ia merasa bagaimana bisa kitab suci Alquran ini berasal dari Allah. Namun, semakin membaca ia mulai mengetahui jawabannya. "Alquran seolah dibuat untuk saya. Aku tak berhenti menangis," kata dia haru.

Setelah berbulan-bulan membaca dan berdiskusi, ia berpikir untuk menjadi muslim. Namun, ia belum terbiasa untuk berdoa secara langsung kepada Tuhan. Selama ini ia selalu berdoa kepada Tuhan melalui perantara. Keraguan itu mulai ditepisnya dengan ketakutan terhadap azab Tuhan.

Ia menangis. Karena yang ia butuhkan adalah Islam. "Pada waktu itu saya harus masuk Islam tidak ada keraguan lagi dari ajarannya," kata dia. Setelah mengucapkan syahadat, ia seolah lahir kembali.  "Aku begitu dekat dengan Tuhan, dan Alhamdullilah, saya sangat beruntung," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement