REPUBLIKA.CO.ID, Kurban termasuk kategori ibadah yang menekankan totalitas. Yaitu, memperuntukkan hewan kurban sebagai bentuk penghambaan penuh terhadap-Nya.
Karena itu, para ulama sepakat, pekurban tidak boleh menjual daging kurban yang telah diniatkan sebelumnya.
Ia hanya diperbolehkan memanfaatkan kurban tersebut dengan memakan sebagian, menyedekahkan, dan memanfaatkan bagian tubuh yang bisa dimanfaatkan. Bukan untuk diperjualbelikan.
Sebuah riwayat Bukhari Muslim dari Ali bin Abi Thalib menguatkan hal itu. Bahwa, Rasulullah SAW pernah memerintahkan menantunya tersebut untuk menyedekahkan semua daging kurban.
Lalu, bagaimana dengan hukum kulit? Bolehkah kulit kurban yang tidak dikonsumsi itu diperjual-belikan? Syekh Khalid bin Muhammad al-Majid menjelaskan hal ini dalam artikelnya yang berjudul “Bai’ Jild al-Udhiyah”.
Menurutnya, para ulama berselisih pandang terkait hukum menjual kulit hewan kurban. Ada tiga opsi pendapat. Kelompok yang pertama mengatakan, kulit kurban tersebut mutlak tidak boleh dijual. Pendapat ini disuarakan oleh Mazhab Maliki, Syafi’i, dan salah satu riwayat Hanbali.
Kubu ini merujuk pandangan mereka pada hadis Ali bin Abi Thalib yang dinukilkan oleh Bukhari Muslim di atas. Selain hadis ini, ada pula hadis lemah riwayat Qatadah bin an-Nu’man. Dikisahkan, Rasulullah melarang menjual daging kurban dan memerintahkan agar memanfaatkan kulitnya bukan dijual.
Opsi kedua menyatakan, sebagaimana diperbolehkannya pemanfaatan kulit maka hukum yang sama harusnya juga berlaku untuk komersialisasi kulit. Dengan demikian, kulit kurban boleh dijual. Pendapat ini diaspirasikan oleh Hasan al-Bashri, An-Nakha’i, dan Al-Awzai.