REPUBLIKA.CO.ID, Ketiga, Adanya hubungan antara suatu ketentuan hukum dan yang lain dan hal ini diungkapkan dalam Alquran secara terpencar di dalam ayat-ayatnya. Misalnya, ketentuan tentang salat diselingi dengan ketentuan tentang talak, kemudian dihubungkan pula dengan ketentuan tentang minuman keras (tentang hal demikian lihat QS.2,219-238).
Dengan metode demikian, seakan-akan Alquran berbicara kepada manusia, "Hai manusia, binalah keluargamu dengan senantiasa menghubungkan diri kepada Allah melalui salat dan jangan kamu rusak ikatan keluargamu itu dengan meminum minuman keras."
Keempat, Hukum Alquran selain bersifat umum juga bersifat adil, luwes dan elastis, sehingga dapat diterapkan di segala tempat dan waktu.
Dengan demikian, Allah SWT sebagai Hakim telah menetapkan hukum yang paling baik untuk manusia sehingga manusia dapat menjalani kehidupan yang aman, damai dan tertib baik dalam kehidupan individual maupun kehidupan sosialnya.
Allah SWT berfirman, "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS.5,50).
Dengan hukum yang demikian, Allah SWT disebut dalam Alquran dengan Ahkam al-Hakim atau Hakim Yang Paling Adil (QS.95,8).
Karena keadilan-Nya. Allah SWT disebut juga oleh Alquran dengan sebutan Al- 'Adl (Tuhan Yang Maha Adil). Adil karena memberikan kepada makhluk hak mereka serta ditempatkan-Nya masing-masing makhluk-Nya itu pada posisi yang sesuai dengan tabiat mereka.
Allah SWT juga tidak pernah membebankan suatu taklif yang tidak sesuai dengan kemampuan manusia (ahliah), seperti firman-Nya yang artinya, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, la mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS.2,286).
Atas landasan demikian, ulama usul fikih sepakat menetapkan bahwa ahliah merupakan dasar adanya taklif, baik dalam bentuk ahliyyah al-wujub (kecakapan menerima hak) maupun ahliyyah al-ada’ (kecakapan bertindak hukum). Atas dasar ahliyyah al- wujub, segenap manusia dapat menerima haknya selama dia memiliki kehidupan yang sempurna dan tidak dapat menerima haknya secara penuh jika kehidupan yang dimilikinya hanya dalam bentuk kehidupan yang tidak sempuma, seperti kehidupan janin di dalam perut ibunya.
Demikian pula, atas dasar ahliyyah al-ada', segenap manusia dibebani tanggungjawab penuh, namun jika kecakapan itu belum dimiliki oleh seseorang secara sempurna, seperti pada anak kecil. Maka taklif atasnya tentu tidak sama dengan orang dewasa yang mempunyai kemampuan penuh.