Sabtu 08 Sep 2012 20:35 WIB

Hukum Mengintegrasikan Kewarganegaraan (2)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, PBB memprediksi, bila tak ada perubahan signifikan, Eropa bakal bergantung pada 1,6 juta imigran baru setiap tahunnya.

Kondisi ini diperkirakan akan terus berlangsung hingga 2050, jika Eropa ingin populasinya bertahan.

Masalah integrasi itu mengundang pertanyaan para imigran Muslim. Apa hukum integrasi ke negara sekuler tersebut? Bolehkah mengintegrasikan kewarganegaraan untuk bergabung dan tercatat sebagai warga negara yang notabene non-Muslim?

Isu ini menjadi salah satu bahasan penting Dewan Fatwa dan Kajian Eropa (European Council for Fatwa and Research) setahun kemudian. Tepatnya pada Mei 2007.

Pertemuan rutin yang memasuki kali ke-17 itu dipimpin langsung oleh Syekh Yusuf Al-Qaradhawi. Sejumlah tokoh ulama Eropa dan beberapa cendekiawan menghadiri perhelatan itu.

Fusi atau konsistensi

Pertemuan Dewan Fatwa dan Kajian Eropa tersebut menggarisbawahi ketentuan umum terkait integrasi itu. Secara garis besar ada dua kategori utama.

Pertama, kategori integrasi yang cenderung kepada fusi atas identitas sosial, agama, dan budaya asli dari daerah asal imigran. Sedangkan kedua ialah jenis integrasi yang tetap konsisten pada identitas semula.

Dewan memutuskan bahwa kategori integrasi kedualah yang ditetapkan sebagai bentuk integrasi positif. Namun, penting diperhatikan bahwa integrasi komunitas Muslim sebagai bagian masyarakat Eropa adalah tanggung jawab kolektif antarelemen Muslim di Eropa di satu sisi, dan tentunya di sisi lain otoritas Eropa dituntut pula akomodatif dan terbuka terhadap entitas Muslim baru itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement