Jumat 31 Aug 2012 13:45 WIB

Hukum Penggunaan Senjata Pemusnah Massal (1)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Senjata pemusnah massal (ilustrasi).
Foto: creativecrash.com
Senjata pemusnah massal (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Senjata kimia, seperti berbagai macam gas beracun dan bahan-bahan pembakar lainnya, memiliki efek yang sangat membahayakan, bahkan dapat menyebabkan kematian bagi setiap makhluk hidup yang terkena bahan tersebut, termasuk tumbuh-tumbuhan.

Pada umumnya, bahan beracun yang digunakan sebagai senjata kimia ini adalah berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap dan jarang sekali yang berbentuk padat.

Adapun senjata biologi adalah senjata yang dibuat dari bakteri dan virus yang dapat menyebarkan wabah penyakit berbahaya di barisan musuh dan mengakibatkan kerugian yang sangat besar terhadap peternakan dan pertaniannya.

Bagi negara-negara Islam, memiliki senjata jenis ini dengan tujuan mencegah serangan musuh merupakan perkara yang diperintahkan oleh agama. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT:

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya." (QS. Al-Anfal (8): 60).

Al-Alusi berkata dalam kitab tafsirnya, "Maksudnya adalah segala sesuatu yang dapat memperkuat diri dalam peperangan, apa pun bentuknya."

Dalam ayat di atas Allah SWT telah memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan berbagai hal yang dapat mencegah musuh agar tidak berkeinginan untuk menyerang kaum Muslimin.

Pencegahan atau tindakan preventif, selain merupakan prinsip syariat yang terealisasikan dalam hukuman had dan ta'zir, juga merupakan prinsip politik yang diakui dan digunakan oleh negara-negara di dunia ini dalam kebijakan pertahanannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu strategi militer.

Dengan demikian, memiliki senjata jenis ini merupakan salah satu unsur penyempurna dalam merealisasikan tujuan di atas. Dan merealisasikan penyempurna bagi sesuatu yang diperintahkan adalah juga diperintahkan. Di samping itu, izin untuk melakukan sesuatu, secara tidak langsung adalah izin untuk melakukan penyempurna bagi sesuatu tersebut.

sumber : Fatawa Dar Al-Ifta Al-Misriyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement