Kamis 30 Aug 2012 20:21 WIB

Hukum Pegang Gadai dalam Islam (7-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: wordpress.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Az-Zarqa dan Muhammad Abu Zahrah, ketika Mesir menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada tahun 1948, bai’ al-wafa’ juga diakui sah dan dicantumkan dalam pasal 430 undang-undang tersebut.

Akan tetapi, ketika terjadi revisi terhadap undang-undang ini pada tahun 1971, bai’ al wafa’ tidak dicantumkan lagi.

Menurut Az-Zarqa. pembuangan itu bukan karena akad itu tidak diakui sah oleh ulama fikih Mesir, melainkan lebih disebabkan oleh perubahan situasi dan kondisi ketika undang-undang itu

Oleh sebab itu, ia melihat bahwa akad ni tetap relevan untuk zaman sekarang, dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya transaksi yang nyata-nyata mengandung unsur riba.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Suriah (Al-Qanun Al-Madari As-Sunnah), bai’ al-wafa’ juga pernah tercantum dalam pasal 433 dan seterusnya. Namun, ketika Mesir membuang bai’ al-wafa’ dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdatanya pada tahun 1971, Suriah juga ikut menghapusnya.

Di Indonesia, bentuk jual beli yang mirip dengan bai’ al-wafa’ ini adalah apa yang dinamakan ‘pagang gadai’ di Minangkabau.

Persamaannya terlihat ketika barang yang digadaikan oleh pemiliknya harus ditebus kembali oleh pemilik barang pada waktu pagang gadai tersebut jatuh tempo, seharga yang diterimanya ketika akad dilaksanakan (biasanya harga yang dijadikan ukuran nilai adalah emas, sehingga ketika jatuh tempo gadai tersebut, harga yang harus diserahkan pemilik barang adalah nilai emas juga).

Disamping itu, pihak pemegang gadai dengan bebas dapat memanfaatkan barang gadaian sampai utang dilunasi pihak penggadai. Akan tetapi, menurut Buya Hamka, ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, dalam praktik pagang gadai di Minangkabau, banyak barang yang digadaikan tersebut tidak ditebus kembali oleh pemilik barang ketika jatuh tempo, sehingga persetujuan yang ditetapkan bersama ketika transaksi dilaksanakan tidak berjalan dengan baik.

Untuk menyelesaikan kasus ini belum terlihat ada penyelesaian yang tuntas, sehingga pagang gadai yang sejak semula dimaksudkan sebagai sarana tolong-menolong sering tidak mencapai sasarannya.

sumber : Ensiklopedi Hukum Islam
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement