REPUBLIKA.CO.ID, Nourdeen mulai mencoba shalat sesekali. Ia tetap membaca banyak hal tentang Islam dan mulai menambah referensi keislamannya dari internet.
Dari sebuah jejaring sosial, Nourdeen mengenal seorang Muslimah yang juga berasal dari Belanda. Begitu ia tahu Nourdeen belum memeluk Islam, perempuan tersebut menyarankannya untuk berkunjung dan bertemu suaminya, seorang Muslim kelahiran Mesir.
Nourdeen memenuhi saran itu. Ia dan pria tersebut membicarakan banyak hal pada kunjungan pertama. Saat kembali berkunjung di sebuah kesempatan lain, pria itu mengajari Nourdeen cara shalat yang benar. “Aku berupaya sebaik mungkin dan ia memerhatikan gerakanku.”
Nourdeen bersyahadat dua pekan kemudian, 9 Desember 2007, di sebuah masjid yang tak jauh dari tempat tinggal pasangan Muslim yang dikenalnya lewat jejaring sosial itu. “Imam (yang mengislamkanku) membaca kalimat syahadat perlahan-lahan, dan kuikuti perlahan-lahan. Saat ia membaca doa untukku, aku seperti seorang yang berhasil meneraturkan nafasnya setelah terengah-engah,” kenangnya.
“Jalanku menuju Islam adalah melalui buku-buku, dan aku datang (pada Islam) melalui teori,” kata Nourdeen, menegaskan bahwa dirinya telah mengambil pilihan rasional, bukan emosional. Islam baginya adalah jawaban atas setiap pertanyaan.
Satu kesempatan setelah itu, Nourdeen mendatangi masjid yang pernah didatanginya untuk membayar zakat. Pria yang sama kembali menyapanya, dan tetap bertanya apakah ia telah menjadi Muslim. Nourdeen mengangguk kali ini. “Ya, Tuan. Dan namaku sekarang adalah Nourdeen.”
Setelah resmi berislam pada 9 Desember 2007, Nourdeen mendalami Alquran di Dar Al-Ilmi di Belanda. Ia segera dikenal sebagai aktivis Islam dan penggiat dakwah. Tahun lalu, ia meluncurkan program dakwah berkelanjutan berbasis pelayanan masjid di negaranya.