REPUBLIKA.CO.ID, Dalam ayat lain disebutkan, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu...” (QS. 33: 59).
Demikian juga dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan, "Tidak diterima shalat wanita yang telah menjalani usia haid melainkan dengan kudung.” (HR. Al-Khamsah (lima ahli hadis) kecuali An-Nasa’i).
Nabi Muhammad SAW bersabda pula kepada Asma binti Abu Bakar, ”Hai Asma, sesungguhnya apabila perempuan telah mencapai usia haid, tidak pantas terlihat pada dirinya kecuali ini dan ini (sembari menunjuk kepada muka dan telapak tangannya).” (HR. Abu Dawud).
Menurut Khuzaimah T Yanggo, ahli perbandingan mazhab fikih kontemporer dari Indonesia, kewajiban menutup aurat itu adalah suatu kewajiban yang bersifat wajib dilakukan oleh setiap individu karena ibadah semata-mata, tanpa diketahui sebabnya.
Kendati demikian, kemunculan kewajiban itu dapat dilihat dari tiga hal, yaitu;
- Karena menutup aurat itu merupakan faktor penunjang terhadap kewajiban menahan pandangan terhadap aurat yang diperintahkan Allah SWT di dalam Surah An-Nur (24) ayat 30-31.
- Karena menutup aurat merupakan faktor penunjang dari larangan berzina yang sangat terkutuk.
- Karena menutup aurat merupakan saddaz-zari'ah (az-Zari‘ah), yakni menutup pintu kepada seluruh bentuk perbuatan dosa.
Poin 1 dan 2 di atas sejalan dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa "sesuatu yang dengannya suatu kewajiban tidak sempurna, maka (sesuatu itu) wajib pula untuk dilaksanakan".
Sedangkan poin 3 sejalan pula dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa "segala sesuatu yang membawa kepada yang diharamkan, maka hukumnya juga haram''.