REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelenggaraan haji dan umroh yang ditempuh melalui sistem multilevel marketing (MLM) berawal dari keberadaan sertifikat yang diterbitkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dinilai rancu. Nyatanya, sistem berantai itu telah dibahas dalam ijtima' ulama di Cipasung, Tasikmalaya.
Keberadaan MLM seperti itu dinilai cenderung menimbulkan bahaya atau kemudaratan bagi calon jamaah haji. Seiring laporan dari masyarakat, muncul pro dan kontra dari berbagai pihak terkait penerbitan sertifikat dari DSN MUI. Tak ayal, MLM umrah dan haji menjadi salah satu pokok bahasan fatwa MUI dari hasil ijtima ulama nasional tahun ini.
"Kita meminta umat Islam lebih baik menghindari MLM haji karena lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya,” kata Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin usai ijtima' ulama, Selasa (24/7).
Letak kemudaratan itu, kata dia, salah satunya disebabkan daftar tunggu (waiting list) berhaji yang begitu panjang hingga mencapai 10 tahun. Sedangkan peserta MLM umrah juga harus menunggu sekitar tiga tahun. Dengan jumlah daftar tunggu haji yang mencapai 1,7 juta orang, mengakibatkan calon haji tidak sabar dan mudah teriming-iming mengikuti pelaksanaan haji lewat sistem MLM itu.
Saat ini, kata Hasanudin, ada dua perusahaan penyelenggara haji dan umrah yang memberlakukan sistem MLM haji dan umrah yaitu MPM Travel dan Arminareka. Ia mengatakan Dewan Syariah Nasional telah memberikan sertifikat kepada kedua perusahaan itu untuk penyelenggaraan MLM umrah. Namun, melalui ijtima ulama tahun ini, akan ditambah persyaratan yang ketat.
Ketua MUI Bidang Fatwa KH Ma’ruf Amin menambahkan pihaknya hanya mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dan menghindari MLM haji dari kedua perusahaan itu. “Jadi kami bukan tak menyetujui dan juga tidak melarang, tapi sebaiknya tidak ikut MLM haji itu. Persyaratan ketat bagi MLM umrah diberlakukan dengan membuat 24 poin yang harus dipenuhi penyelenggara MLM umrah.