Rabu 11 Jul 2012 20:40 WIB

Jeremy Boulter: Tuhan Itu Perkasa, Tak Butuh Perantara (5)

Rep: Agung Sasongko/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Jeremy akhirnya berangkat menuju Teluk. Oleh teman-temanya, ia diperingati bahwa di negara itu, Arab Saudi, ia tidak bebas melakukan apa pun.

Bahkan ada koleganya yang menasihati Jeremy agar mengurungkan niatnya itu. "Saya mencoba untuk tidak memikirkan apa yang dikatakan teman-teman. Saya hanya fokus memikirkan bagaimana beradaptasi dengan lingkungan baru," paparnya.

Benar saja, apa yang diungkapkan teman-temanya itu tidak sesuai fakta. Tiba di bandara, ia disambut dengan hangat. Jeremy memberi poin khusus untuk sambutan ramah tersebut. Awalnya, Jeremy belum merasa tertarik untuk segera mencari tahu seperti apa budaya masyarakat Arab.

Perwakilan kampus segera menjemput dan membawanya. Namun, ia terlebih dahulu harus melalui pemeriksaan paspor dan mengisi formulir kedatangan. Lalu, ia dikirim ke kepala Departamen Bahasa Inggris. Ketika masuk ruangan, ia berhadapan dengan pria berjubah, layaknya pakaian yang dikenakan pria Saudi.

"Ia tidak terlihat seperti orang Arab. Ia pasti merasa tidak nyaman dengan tatapan mataku. Ternyata ia berasal dari Wales, tapi ia telah menjadi Muslim saat bekerja di Brunei, sebelum pindah ke Arab Saudi," kata Jeremy.

Oleh pria itu, Jeremy diminta untuk beradaptasi selama lima hari sebelum ia resmi mengajar. Lalu, ia diantar menuju rumahnya. Selama perjalanan itu, ia teringat betul pertemuan dengan pria itu. Ingatan itu kembali mendorong Jeremy untuk kembali ke alam logika. Kemampuan berpikirnya kembali diuji.

Jeremy mulai menyadari bahwa Injil dan Taurat saling berhubungan. Tapi ia belum sepenuhnya membaca kitab lain, seperti Talmud, dan Alquran. Entah mengapa, ia merasa asing dengan kedua kitab itu. Terlebih, kedua kitab itu menggunakan bahasa berbeda dengan kitab yang pernah ia baca.

Tapi ia tidak menyerah, ia cari kedua kitab itu dalam terjemahan bahasa Inggris. "Saya menuju pusat kota untuk mencari terjemahan itu. Saya menuju bangunan bertingkat di kawasan Ha'il. Lalu saya menemukan bangunan bertingkat bernama Al-Bourj. Di bangunan itu, saya melihat semua toko ditutup pada sore hari," tuturnya.

Gagal menemukan apa yang ia cari, Jeremy kembali untuk mencari kitab terjemahan itu. Sayang, tak satu pun dari mereka yang memiliki kitab terjemahan. Ia kembali menuju Al-Bourj, kali ini ia beruntung toko yang dicari tidak tutup. Yang membuatnya terkejut, pengunjung toko kebanyakan berasal dari Asia Tenggara dan Oseania.

Namun, Jeremy tetap saja tidak dapat menemukan buku dicari. Merasa frustasi, ia keluar sejenak dari toko. Di luar toko buku, Jeremy melihat ada anak tangga. Ia bermaksud mencari tempat membaca. Kemudian, ia bertemu dengan petugas polisi.

Oleh polisi itu, Jeremy diarahkan ke sebuah ruangan baca. Memasuki ruangan itu, Jeremy melihat rak berisi buku usang. "Saya merasa putus asa dengan apa yang saya alami. Saya sulit menemukan buku dalam bahasa Inggris," kenangnya.

Beruntung, ada salah seorang staf British Council yang menemukannya. Jeremy lalu meminta bantuan staf itu untuk membimbingnya menemukan buku yang ia cari. Selang beberapa saat, pria berjanggut datang menghampiri Jeremy. "Saya menyapanya, dengan mengatakan saya ingin membaca Alquran," kata Jeremy, yang selanjutnya terlibat diskusi dengan pria tersebut.

Pria berjanggut itu membawa buku tebal dengan sampul mengilap. Pria itu lalu mengatakan pada Jeremy bahwa buku ini bukan terjemahan, melainkan penjelasan dari setiap ayat Alquran dalam bahasa Inggris.

"Saya kembali bingung. Saya mengulangi permintaan sebelumnya. Saya ingin terjemahan. Tapi ia ngotot bahwa itu adalah terjemahan," kata Jeremy. Akhirnya, ia menerima buku itu, meski sedikit jengkel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement