Pakar hukum andal
Al-Mawardi dikenal sebagai tokoh yang mendalami hukum Islam. Corak pemikiran hukumnya banyak terinspirasi dari gurunya, Abul Qasim Abdul Wahid As-Saimari.
Sebagaimana sang guru, Al-Mawardi menganut mazhab Syafi’i. Ia juga pernah berguru kepada Abdullah Al-Bafi dan Syekh Abdul Hamid Al-Isfraini.
Al-Mawardi menimba ilmu dari kedua tokoh tersebut ketika ia pindah ke Baghdad. Tak hanya pandai di satu bidang, ia juga menguasi disiplin ilmu lain; sastra, filsafat, hadis, dan etika.
Kepakarannya pun banyak menuai pujian. Ia pernah diangkat sebagai kadi di masa pemerintahan dua khalifah sekaligus, yaitu Al-Qadir Billah (381-422 H) dan Al-Qa’imu Billah (422-467 H). Penghargaan itu ia peroleh bukan tanpa sebab dan alasan kuat, melainkan karena buah dari kepakarannya.
Diceritakan, pada 1037 M, Khalifah Al-Qadir pernah meminta empat ahli hukum untuk menulis sebuah kitab di bidang fikih. Masing-masing mereka mewakili empat mazhab besar yang berlaku kala itu; mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i.
Saat itu, Al-Mawardilah yang mendapat kepercayaan tampil sebagai wakil dari mazhab Syafi’i. Ia menulis sebuah kitab yang diberi judul Al-Iqna’. Tak disangka, buah karyanya itu mengundang decak kagum para juri. Bahkan, sang khalifah pun mengagumi karyanya.
Dari empat kandidat itu hanya terpilih dua pakar, yakni Al-Mawardi dan Al-Quduri dengan bukunya Al-Mukhtashar. Ketertarikan itu akhirnya diwujudkan dengan disalinnya kitab tersebut ke banyak naskah lalu disebarkan di berbagai perpustakaan.
Magnum opus tokoh yang wafat pada 1508 M di usia 83 tahun itu ialah Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Sebuah karya berharga yang menyumbangkan gagasan tentang konstelasi negara menurut Islam. Kitab ini pun kini telah dialihbahasakan ke berbagai bahasa, seperti Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.