REPUBLIKA.CO.ID, Adil dalam bersikap, menurut Al-Mawardi, hendaknya wazir tidak menjatuhkan hukuman kecuali atas dasar kesalahan yang dilakukan seseorang, dan hanya memberikan remisi atau ampunan bagi mereka yang bertobat.
Kebencian kepada siapa pun sepatutnya tak menghapus rekam jejak kebaikan. Begitu pula sebaliknya, kecintaan, dan penghormatan pada sosok tertentu, tak membuat mata tertutup pada kejahatannya.
Diceritakan, Nabi Sulaiman AS pernah berkata, “Aku memberikan sesama apa yang mereka berikan atau belum memberinya, dan aku mengetahui apa yang mereka ketahui dan belum. Dan aku tidak memberi apa pun yang lebih utama kecuali objektivitas, baik saat senang ataupun kala murka.”
Al-Mawardi pun kembali menekankan, “Balasan kepada seseorang hanya berdasar baik atau buruknya.”
Bukan pucuk pimpinan
Dalam konsep yang ditawarkan Al-Mawardi, posisi menteri dalam pemerintahan sebuah negara adalah bawahan. Setiap kebijakan yang ia keluarkan sejatinya diperuntukkan guna melayani pucuk pimpinan. Dalam konteks sistem pemerintahan masa itu, pemimpin tertinggi ialah raja. Wazir bertanggungjawab kepada sang raja.
Menurut Al-Mawardi, ada dua kategori wazir, yaitu wazir tafwidh dan wazir tanfidz. Yang dimaksud dengan wazir kategori yang pertama ialah menteri yang mempunyai otoritas dan wewenang luas untuk memutuskan sebuah kebijakan yang berkaitan dengan negara.
Di masa kini, tafwidh dapat disandingkan dengan perdana menteri. Dalam posisinya, seorang perdana menteri bisa saja membawahi berbagai departemen. Dengan definisi di atas, wazir tafwidh memiliki posisi yang sangat vital di negara. Karena itu, mereka dipilih dari orang-orang yang menjadi kepercayaan sang raja.
Adapun pengertian wazir tanfidz, menurut al-Mawardi, ialah menteri yang hanya memiliki wewenang menjadi eksekutor dari tiap kebijakan yang telah ditetapkan pucuk pimpinan. Dalam hal ini, wazir tanfidz berada di bawah perdana menteri. Ka rena itu, ia tidak diberikan otoritas merumuskan sebuah kebijakan.