REPUBLIKA.CO.ID, Dalam pandangan Mazhab Hanafi, fidyah wajib itu ialah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.
Qadi Iyadh pun menegaskan, mayoritas sepakat fidyah ialah satu mud untuk tiap hari yang ditinggalkan. (1 sha’= 4 mud. 1 sha + 3 kg).
Fatwa ini juga menekankan larangan membuat peraturan yang menghalangi seseorang berpuasa. Hal ini karena tidak sesuai dengan syariat Islam.
Fatwa ini merujuk sejumlah dalil yang bersumber dari Alquran dan sunah ataupun konsensus ulama. Landasan ayat pertama yang dijadikan dasar fatwa ini ialah ayat 184 Surah Al-Baqarah. Ayat itu menyebut dispensasi untuk tidak berpuasa bagi mereka yang tengah bepergian.
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Ayat lain juga menjelaskan agar tidak memaksakan kemampuan bila nyata-nyata tidak sanggup berpuasa sehingga jika tetap dilakukan, dikhawatirkan akan mengancam keselamatan diri sendiri dan orang lain. “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah.” (QS. Al-Baqarah: 195).
Sedangkan, dasar fatwa yang bersumber dari hadis, antara lain merujuk riwayat Bukhari dari Aisyah RA. Suatu ketika, Hamzah bin Amr Al-Islami bertanya kepada Nabi Muhammad, “Apakah saya puasa dalam perjalanan?” Rasulullah menjawab, “Jika engkau mau puasa, boleh puasa. Tetapi jika engkau tidak mau puasa, boleh tidak puasa.”
Konsensus
Menukil pendapat An-Nawawi dalam Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, bila seseorang bepergian (pada saat berpuasa) dan memulai perjalanan pada malam hari dan meninggalkan perbatasan kota sebelum fajar tiba, dalam kondisi seperti ini ia boleh berbuka, tanpa ada perbedaan di kalangan ulama.