Senin 02 Jul 2012 06:36 WIB

Hukum Puasa bagi Pilot (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
 Pilot dalam tugas. (ilustrasi).
Foto: brookskraft.com
Pilot dalam tugas. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Hukum puasa Ramadhan ialah wajib bagi Muslim. Namun, di sebagian masyarakat muncul pandangan bahwa berpuasa bisa memengaruhi berkurangnya daya konsentrasi.

Terutama, bagi mereka yang akrab dengan profesi berisiko tinggi dan memiliki mobilitas yang tinggi. Salah satunya ialah profesi pilot atau penerbang pesawat.

Profesi tersebut membutuhkan konsentrasi tinggi. Dengan tetap berpuasa, dikhawatirkan akan mengganggu fokus penerbang.

Kondisi menurunnya stamina itu bisa berakibat fatal dan menyebabkan kecelakaan. Lantas, bolehkah para pilot tidak berpuasa kala bertugas selama Ramadhan?

Persoalan ini menjadi salah satu bahasan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional VIII 2010. Hasil kajian para ulama yang tertuang dalam buku Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VIII 2010 MUI tersebut meletakkan sejumlah ketentuan umum terkait siapa dan seperti apakah profesi pilot yang dimaksud dalam fatwa ini.

Disebutkan, yang dimaksud dengan pilot ialah kru pesawat yang bertugas menerbangkan pesawat. Selanjutnya, ada dua kategori musafir dalam konteks hukum pilot ini, yaitu musafir tetap dan tidak tetap. Musafir tetap ialah seseorang yang melakukan perjalanan secara terus-menerus. Sedangkan musafir tidak tetap adalah seseorang yang melakukan perjalanan temporal.

Fatwa ini memutuskan bahwa pilot boleh meninggalkan puasa Ramadhan. Ini sebagai bentuk keringanan karena sebab bepergian. Dengan ketentuan, bila pilot yang bersangkutan berstatus musafir tetap, maka ia dapat menggantinya dengan membayar fidyah.

Pengertian fidyah dalam fikih Islam ialah kadar tertentu harus diberikan kepada orang miskin berupa makanan sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.

Berapakah fidyah yang harus diberikan? Menurut Mazhab Maliki dan Syafi’i, kadar fidyah ialah satu mud untuk tiap hari ia tidak ber puasa. Pendapat ini diamini oleh sejumlah ulama, seperti Thawus, Sa’id bin Jubar, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement