Sabtu 30 Jun 2012 19:09 WIB

Hujjatul Islam: Habib Salim Bin Djindan, Guru para Habaib (4-habis)

Rep: Alwi Shahab/Nidia Zuraya / Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 16 Rabiul Awal 1389 H bertepatan 1 Juni 1969 M, singa podium itu wafat. Ribuan umat Islam dari berbagai pelosok Jabodetabek bertakziah ke kediamannya di Otista (Jalan Otto Iskandardinata). Umat Islam pun merasa kehilangan dengan kepergian sang ulama.

Dari kediamannya di Otista ke Qubah Pekaburan Al-Hawi, Condet, Cililitan, Jakarta Timur, jenazah digotong secara geranting. Di sepanjang jalan sekitar 4 kilometer, mereka membaca takbir dan tahlil. Peziarah yang memadati Jalan Condet Raya itu tidak dapat memasuki tempat pemakaman akibat penuhnya massa.

Selepas kepergiannya, Habib Salim mewariskan majelis taklim dan ilmu pengetahuan melalui buku-buku yang tersimpan di dalam perpustakaannya. Di perpustakaan ini, tak kurang dari lima ribu kitab, termasuk kitab-kitab dari mancanegara. Ini menunjukkan bahwa Habib Salim bin Djindan adalah seseorang yang haus akan ilmu.

Sepeninggal Habib Salim, dakwah dan perjuangan beliau dilanjutkan oleh kedua putranya, Habib Shahahuddin dan Habib Novel. Keduanya kini telah wafat. Habib Novel membuka majelis taklim di Larangan, Tangerang, dan kini diteruskan oleh kedua putranya Habib Djindan bin Novel dan adiknya Habib Muhammad.

Kedua kakak beradik alumnus Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut, ini merupakan lulusan pertama dari pesantren yang dipimpin oleh Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar.

Siapa yang lebih mulia?

Habib Salim Djindan dikenal sebagai seorang ulama yang alim dan menguasai banyak ilmu. Hal ini tampak dari salah satu perbincangannya dengan seorang pendeta.

Pendeta: “Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?”

Habib: “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab, yang mati sudah jadi bangkai.”

Pendeta: “Kalau begitu, Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa—menurut keyakinan Habib—belum mati dan masih hidup.”

Habib: “Kalau begitu, ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedangkan ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang.”

Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang.

Cerita mengenai perbincangan antara Habib Salim dan sang pendeta ini tersebar luas di tengah masyarakat. Sehingga, ketika itu, banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement