Senin 25 Jun 2012 23:33 WIB

Masjid Istiqlal, Gaya Arsitektur Islam Modern (3)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral berdampingan di Jakarta.
Foto: Republika/Ali Said
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral berdampingan di Jakarta.

Simbol kerukunan umat beragama

Usulan sejumlah tokoh Islam untuk mendirikan sebuah masjid sebagai kebanggaan umat Islam di Indonesia atas kemerdekaan yang telah diraih disambut positif oleh Presiden Soekarno.

Bung Karno pun menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya Yayasan Masjid Istiqlal yang kemudian membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).

Rencana pembangunan Masjid Istiqlal sempat tertunda karena persoalan penentuan lokasi masjid yang menimbulkan perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI.

Bung Karno mengusulkan lokasi di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral, dan Jalan Veteran.

Pada sekitar tahun 1950 hingga akhir tahun 1960-an, Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng dikenal sepi, gelap, kotor, dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederick Hendrik di taman dipenuhi lumut dan rumput ilalang di mana-mana.

Sementara itu, Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid terletak di tengah-tengah umatnya, yaitu di Jalan Thamrin, yang pada saat itu di sekitarnya banyak dikelilingi kampung. Selain itu, ia juga menganggap pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan dana yang tidak sedikit.

Akhirnya, Presiden Soekarno memutuskan membangun masjid di lahan bekas benteng Belanda karena di seberangnya telah berdiri Gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Kemudian, pada tahun 1955, PPMI mengadakan sayembara rancangan gambar atau arsitektur Masjid Istiqlal yang dewan jurinya diketuai langsung oleh Presiden Soekarno dan beranggotakan Prof Ir Rooseno, Ir H Djuanda, Prof Ir Suwardi, Ir R Bratakusumah, RD Soeratmoko, Hamka, H Abu Bakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin. Sayembara tersebut menawarkan hadiah berupa uang sebesar Rp 75.000 serta emas murni seberat 75 gram.

Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara tersebut, namun hanya lima peserta yang memenuhi syarat kala itu. Kelima peserta ini adalah Frederich Silaban dengan rancangannya bertema ''Ketuhanan", R Oetoyo dengan tema "Istighfar", Hans Groenewegen dengan tema "Salam", mahasiswa ITB (lima orang) dengan tema "Ilham 5", dan mahasiswa ITB (tiga orang) dengan tema "Khatulistiwa".

Setelah proses penjurian yang panjang, akhirnya pada 5 Juli 1955 atas perintah Presiden Soekarno diputuskan desain rancangan dengan tema "Ketuhanan" karya Frederich Silaban yang dipilih sebagai pemenang. Frederich Silaban pada masa itu merupakan seorang arsitek terkenal di Indonesia. Selain Istiqlal, karya lainnya yang masih menghiasi ibukota adalah desain gedung Bank Indonesia (BI) dan Kompleks Gelanggang Olahraga Senayan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement