REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR--Tidak diterima di negeri sendiri, Muslim Rohingya pun memilih mengungsi. Malaysia kini menjadi negara tujuan utama para Muslim Rohingya.
Di negeri jiran, Muslim Rohingya memiliki asa untuk mendapatkan haknya sekaligus mengakhiri penderitaan mereka sebagai pengungsi abadi di dunia. "Saya berdoa kepada Allah SWT, agar dapat menetap selamanya di Malaysia," papar Sharifah binti Hussein, 17 tahun, seorang Muslimah Rohingya seperti dikutip onislam.net, Senin (18/6).
Ia mengaku tidak akan menuju tempat lain diluar negara Islam. Sharifah lahir di Myanmaar. Namun naas, hak-hak dasarnya sebagai warga negara tidak diberikan. Ia bahkan mengalami pelecehan oleh pemerintah militer. Tahun 1994, ia bersama keluarganya mengungsi ke Malaysia.
"Butuh dua kali kesempatan sebelum kami melarikan diri," katanya. "Selama itu pula, kami tidur di gedung-gedung tak bertuan. Itupun tak tentu, kadang kami di gedung, kadang pula kami tidur di hutan. Setiap malam, kami merasakan rasa takut berlebih," kenangnya.
Setibanya di Malaysia, orang tua Sharifah yang sudah lebih dulu tiba sempat tidak mengenali putrinya itu. Saat meninggalkan Myanmar lebih dulu, ayahnya mengingatnya begitu sehat dan berkulit putih."Kata ayahku, aku cantik," kata dia.
Kini, ayah Sharifah terkejut dengan penampilan Sharifah. Rambutnya yang dahulu tergerai panjang kini pendek layaknya penampilan laki-laki. "Ayah tak mengenaliku lagi," paparnya.
Tidak Sesuai Harapan
Setibanya di Malaysia, bayangan Sharifah akan kehidupan yang lebih baik tidak sepenuhnya terkabul. Ia tetap saja hidup sulit. Di sekolah, tak ada yang ingin berbicara dengannya karena statusnya sebagai pengungsi.
"Mereka menuduhku datang ke Malaysia untuk mengambil sumber daya mereka. Mereka ejek penampilanku karena memiliki kulit yang lebih gelap," kenang dia.
Hidup Sharifah mulai membaik ketika ia memutuskan bersekolah di pusat pengungsian. Ia memiliki banyak teman, dan mulai mempelajari bahasa Melayu. "Aku ingin menetap selamanya disini, karena itu penting bagiku untuk belajar bahasa Melayu," kata dia.
Serupa dengan putrinya, Hussein, 45 tahun, juga mengaku tidak mudah hidup di Malaysia. Menurutnya, Malaysia tidak menandatangani konvensi tentang pengungsi yang disponsori PBB pada tahun 1951. Efek dari hal itu, bagi pemegang kartu pengungsi yang dikeluarkan badan Pengungsi PBB (UNHCR), tidak akan mendapatkan perlakuan selayaknya seorang pengungsi.
"Pejabat Malaysia dapat menangkap siapa saja yang hanya memiliki tanda pengenal berupa kartu pengungsi," paparnya. Perlakuan itulah yang mendapat kritik dari Kelompok aktivis pengungsi internasional. UNHCR bahkan meminta Malaysia untuk mengurangi jumlah penangkapan terhadap para pengungsi.
Meski tidak sesuai dengan bayangan, Sharifah tetap berharap Malaysia dapat mengubah sikapnya terhadap para pengungsi. "Saya percaya Malaysia akan mengakui pengungsi," kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, terjadi bentrokan berdarah antara Muslim Rohingya dengan warga Myanmar. Puluhan orang tewas dan sejumlah bangunan rusak akibat bentrokan itu.